Sunday, December 24, 2006

Memaknai Sayang

Subhanallaah hati ini terenyuh dan terharu ketika seorang teman menanyakan dan coba mencari arti satu kata yang akrab terdengar dan mungkin sering juga kita ucapkan kepada seseorang (semoga Allah yang lebih utama dan orang tua selanjutnya.. bagi yang masih single lo ya, buat yang udah nikah tentu aja suami), yaitu kata SAYANG.

Aku takkan mencoba memaknai atau mendefinisikan kata sayang karena kata sayang itu lebih indah untuk diresapi dan diejawantahkan dalam bentuk yang abstrak tapi mampu menyentuh objek yang dikenai secara konkrit (wah lebih belibet ya… ?). Kita tidak pernah mampu mengukur rasa sayang kita kepada seseorang tapi orang yang mendapatkan rasa sayang dari kita, merekalah yang mampu mengukurnya. Dengan begitu, tak ada alasan buat kita bisa menuntut orang lain untuk memberikan rasa sayangnya sebanyak yang kita berikan tapi adalah sebanyak yang mereka rasakan. Kalau dikembangkan lagi, sebanyak yang mereka rasakan dan sebanyak mereka ingin mengungkapkannya sesuai dengan pribadi masing-masing dan sebanyak keinginan untuk memanfaatkan modal yang diberikan Allah tersebut.

Ada sebuah hadits dari Rasulullah yang menjadi inspirasi untuk mengembangkan rasa sayang sebesar hasrat untuk menjadi bagian dari suasana indah tersebut. Di sekitar Arsy ada menara-menara dari cahaya. Di dalamnya ada orang-orang yang pakaiannya dari cahaya dan wajah-wajah mereka juga bercahaya. Mereka bukan para nabi dan syuhada, bahkan para nabi dan syuhada iri kepada mereka.” Ketika ditanya para sahabat, Rasulullah menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah, saling bersahabat karena Allah dan saling berkunjung karena Allah.” (H.R. Tirmidzi). Memang layaklah seorang pecinta karena Allah mendapatkan kehormatan tersebut di akhirat nanti karena ternyata memang tidak mudah untuk mencintai karena Allah semata. Kalau boleh aku mengartikan sebagai rasa sayang yang mengalir begitu saja tanpa harus ada alasan, apalagi tuntutan. Sulit sekali bukan?

Fitrah sebagai manusia kerapkali mengiringi langkah kita dan berpuluh kenapa juga sering datang tanpa diundang. “Aku sangat menyayanginya tapi kenapa dia tega mengkhianati aku?”, “Aku selalu punya waktu untuknya tapi kenapa di saat aku sangat membutuhkannya, dia sama sekali tidak peduli?” atau “Aku menyayanginya karena dia sudah tidak punya siapa-siapa dan hidupnya menderita”. Nah, tidak mudah untuk menghadirkan rasa sayang tanpa alasan atau tanpa tuntutan, bukan? Karena sulit, kita coba untuk memperingan. Rasa sayang boleh punya alasan tapi tetap tidak boleh ada tuntutan atau harapan yang membuat kita terjerumus. Ini rasanya lebih mudah untuk dijalankan. Mmh.. tapi alasan dan harapan satu-satunya ya harusnya mengharapkan ridha ALLAH semata. Alangkah irinya kita kepada sahabat-sahabat Rasulullah. Mungkin tidak seluruhnya mendapat porsi kasih sayang yang sama dari Rasul tapi demi agama Allah dan rasa cinta kepada Allah karena Allah sangat mencintai Rasul-Nya, mereka selalu berada di barisan terdepan dalam perjuangan menegakkan Islam. Bahkan ketika Rasulullah terancam di saat perang Uhud, Ummu Umarah dengan gagah berani melesat ke medan pertempuran untuk melindungi kekasih Allah yang juga menjadi kekasihnya. Subhanallaah… Lalu setelah Rasulullah tidak ada, apakah kita kehilangan kesempatan? Tidak, karena janji Allah di atas bukan khusus untuk orang-orang yang mencintai Rasul Allah tapi buat orang-orang yang saling mencintai karena Allah.

Ketika seorang adik bertanya, “Seperti apa seharusnya kita mencintai seseorang karena Allah?”. Lisan ini dengan berat dan hati ini sangat malu untuk menjawab, serasa ada tamparan yang begitu deras. Sudahkah aku mencintai saudara-saudaraku hanya karena Allah semata? Bisikan itu terjawab dengan sendirinya “Belum, aku belum mampu tapi aku punya banyak kesempatan”. Jawaban yang terlontar ketika itu adalah ketika cinta itu mampu diucapkan tanpa diiringi oleh desiran hati atau diikat oleh harapan dan tuntutan (sekali lagi, ini khusus buat yang masih single).

Sayang ya sayang… Selayaknya sangat mudah mengucapkan dan mengekspresikannya kalau memang kita memiliki rasa itu. Ketika beberapa teman bule cowok bertanya, “Kenapa kamu tidak mau bersalaman? Itu sebuah penyiksaan untuk kami karena kami terbiasa untuk mengekspresikan rasa sayang dengan “hug”. Duh, ada rasa haru juga. Begitu mudahnya mereka menyayangi teman yang baru dikenal hingga ada perasaan begitu menyiksa ketika tidak bisa mengekspresikannya. Ups, tunggu dulu, jangan protes teman. Aku sedang berusaha mengambil sisi baik dari pernyataan tersebut. Pernahkah kita begitu tersiksa karena tidak bisa mengekspresikan rasa sayang kepada seseorang dengan tulus (sekali lagi bukan karena sebuah harapan). Mereka hanya sayang… ya sayang saja. Ketika ditanya alasannya, mereka bilang “I don’t know. I think I don’t need reason to love someone”. Ya Allah, begitu indah ilmu yang Engkau turunkan dari segala celah. Akhirnya, meluncur juga sebuah jawaban “Tanpa rangkulan dari kamu, aku bisa menyayangimu semampuku. Tapi kalau memang dengan tidak bersentuhan akan mengurangi rasa sayang kamu kepadaku, mungkin aku termasuk salah seorang yang tak beruntung untuk mendapatkan rasa sayang dari kamu”. Obrolan itu menjadi sebuah obrolan yang indah ketika kalimat yang keluar adalah “Oh come on, don’t say that. I can feel your true love, so I feel suffered because I can not give as much as you give”. Subhanallaah, rasanya aku tidak memberikan rasa sayang sedalam yang mereka rasakan tapi hal itu membuat mereka tersiksa karena budaya mereka adalah mengekspresikannya melalui sebuah rangkulan. Setelah itu endingnya berjalan dengan mulus “I don’t wanna discuss about shaking hand anymore because I don’t want you feel doubt about my love.” (pengertiannya juga adalah sebentuk rasa sayang yang dalam, ya kan?). (Hey, jangan mikir yang aneh-aneh donk hehehe... dunia itu indah lo dari segala sisi, maka nikmatilah dengan bijaksana) .

Andaikan percakapan tersebut terjadi antara kita sesama muslim, tentunya akan menjadi lebih indah. “Jika engkau mencintai saudaramu karena Allah, sampaikanlah karena itu akan mengekalkan persaudaraan di antara kalian.” Begitu pesan Rasulullah. Aku sampaikan ini atas nama sayang yang aku punya yang mudah-mudahan semua sahabat-sahabatku bisa rasakan. Semoga kita bisa menjadi bagian dari cahaya tersebut karena cahaya itu ada di sekeliling Arsy, tempat yang dirindukan hamba yang merindukan Allah. Wallaahu a’lam.

Bantu aku untuk mencintaimu karena Allah, sahabat-sahabat, karena aku memang mencintai kalian. Rasa takut kehilangan adalah bagian dari cinta tapi kita tidak akan pernah kehilangan satu sama lain kalau kita bisa saling mencintai karena Allah. Kita akan bertemu di menara-menara tersebut. “Kabulkan ya Allah. Engkau Maha Menyatukan hati-hati dan jangan biarkan kami tercerai berai justeru karena kami saling menyayangi. Jadikanlah kami sahabat-sahabat yang akan bersaksi untuk kebaikan sahabat-sahabat kami ketika di dunia hingga kami layak menjadi hamba-hamba yang Engkau cintai dunia dan akhirat untuk mendiami menara cahaya tersebut. Amin Allaahumma aamiin”. Mengutip kalimat indah seorang bijak: Cinta sejati adalah cinta yang takkan bertambah kadarnya ketika kita mendapatkan pujian dari orang yang kita cintai dan takkan berkurang kadarnya ketika kita mendapatkan hinaan dari orang kita cintai

9 November 2005, 09:30 pm, sweet room Untuk semua orang yang kucintai dan mencintaiku.

Dibuka kembali untuk sebuah pengakuan kalau aku belum punya rasa sayang yang sempurna. Untuk someone yang sangat aku sayangi ... Suatu saat engkau akan mengerti kalau aku sangat menyayangimu...

http://funnypatra.blogs.friendster.com/my_blog/buah_pikiran/index.html

Sekelumit kisah bersama Pemadam Kebakaran


Untuk keenam kalinya, KOGAMI nomaden alias pindah kantor. Sebelum kantor yang sekarang, Pemadam Kebakaran berbaik hati ngasih ruangan buat KOGAMI. Aku dan teman-teman sih senang banget bisa satu lokasi ama Pemadam karena selama ini kita dah berteman baik karena sering menggelar kegiatan latihan penanggulangan bencana bersama. Lama-lama, ga hanya senang.. aura Pemadam mempengaruhi KOGAMI sebegitu kuatnya! Tiap kali bel berdentang, tiap kali pula relawan KOGAMI berhamburan loncat ke mobil Pemadam yang meraung-raung mencari sumber api. Walau ga punya keahlian, setidaknya dari learning by doing, ada manfaatnya juga buat tim pemadam atau paling engga, relawan bisa ikutan mengamankan lokasi. Duh, dulunya mah ga segini deg-degannya klo dengarin mobil pemadam kebakaran lewat tapi sekarang ada perasaan khawatir dan was-was. Bukan hanya karena relawan ikutan di mobil tapi sepertinya rasa persaudaran terasa begitu tinggi. Jangankan pemadam yang emang teman sendiri, ngedengarin ada pemadam kebakaran yang tinggal di daerah lain tewas karena kecelakaan kerja aja rasanya udah sedih banget.


Subhanallaah.. ternyata, salah sekali klo orang bilang Pemadam suka lamban kerjanya, karena tiap hari aku dan teman-teman nyaksiin sendiri gimana mereka ninggalin semua yang mereka lakuin ketika bel berbunyi. Baru aja mau makan, makanannya ditinggal, baru aja mau gendong anak ngelepas kangen eh ga jadi.. pokoknya "bel" tanda panggilan jihad lebih penting dari segalanya. Ga nunggu hitungan menit, bel bunyi semuanya "blek" langsung lengkap naik ke mobil. Ga bisa dibohongi, rasa ingin cepat sampai di tujuan bikin adrenalin naik.


Aku jadi ingat waktu dulu di Bandung, bareng teman-teman .. dapat kesempatan untuk pelatihan di dinas Pemadam Kebakaran seharian. Ternyata ga mudah.. Semuanya butuh keahlian. Bagian terakhir dari pelatihan adalah diajakin keliling ama mobil Pemadam Kebakaran yang sirinenya dihidupin. Benar deh, semua pada stress, walau udah memekakkan telinga .. yang namanya mobil di depan ga mau beranjak tuh dari posisinya. Ok lah klo alasannya macet.. ini engga.. cuma ada satu mobil lagi nunggu lampu hijau nyala. Kan aturannya harus ngasih jalan, tapi mungkin sosialisasi masih kurang .. ga tahu juga.


Jadi, klopun Pemadam Kebakaran telat sampe di tempat tujuan, bukan mereka yang sengaja tapi emang mereka ga bisa lebih cepat lagi dari itu, disebabkan beberapa kendala.


Kembali lagi ke suasana Dinas Pemadam Kebakaran Kota Padang. Jika semua mobil berangkat, otomatis semua petugas berangkat juga karena memang kebutuhannya segitu, jadi aja Posko kosong sementara telfon dan radio sangat sibuk. Lagi-lagi, relawan KOGAMI belajar banyak untuk bisa menenangkan orang-orang yang meminta informasi atau menjadi lalu lintas komunikasi yang terjadi antar aparat di lapangan.


Terimakasih Pemadam! Selamat Jalan Pak Willy dan Pak Masrizal, semoga diampuni segala dosa2nya...

Wednesday, December 13, 2006

Refreshing

Minggu 10 Desember 2006 menjadi momen yang sangat indah bagi staff dan relawan KOGAMI setelah sekian lama dipisahkan oleh aktivitas yang padat. Konsolidasi tim menjadi sebuah mimpi yang sering tertunda, lagi-lagi karena sulit sekali untuk mencari waktu yang bisa dimanfaatkan bersama-sama. Sebagai organisasi kemanusiaan, KOGAMI tidak pernah mengenal kata “libur” dan kata “lembur”. Jangankan disuruh libur, disuruh untuk pulang kantor sesuai jadwal yang disepakatipun susahnya minta ampun. Subhanallah, sebagai pimpinan aku menghaturkan penghargaan yang tinggi kepada semua teman-teman yang telah menyedekahkan waktu dan tenaganya untuk menebar kebaikan pada sesama.


 


Alhamdulillah setelah berikhtiar sekuat tenaga untuk menyediakan waktu agar kebersamaan tak luntur, maka semuanya sepakat untuk memanfaatkan momen pada hari Minggu dengan komitmen bahwa refreshing akan menghadirkan semangat baru dalam berjuang. Dipilihlah objek wisata “Sarasah Gadut” yang tak populer agar kekompakan di sepanjang perjalanan bisa dipertahankan.


 


Pagi itu, suasana kantor riuh rendah seperti biasanya, masing-masing siap dengan perbekalan. Hanya satu orang yang mengenali Medan yang ceritanya sudah lebih dari cukup untuk memunculkan rasa penasaran. Bismillah, perlahan-lahan kendaraan meninggalkan posko tercinta, tak lupa handy talkie untuk sarana komunikasi (protap keluar posko). Memasuki jalan kampung, suasananya makin menantang. Ini baru petualangan! Kendaraan diparkir di sebuah kedai dan perjalanan harus dilanjutkan dengan berjalan kaki melintasi hutan dan ladang penduduk. Wajah ceria dan canda-canda tak bisa dihentikan walau kadang kondisi medan menuntut tingkat kewaspadaan yang tinggi. Terpeleset juga merupakan salah satu seni berjalan di alam.


 


Subhanallah... Sarasah (air terjun) itu begitu indah hingga tak sempat sepatah keluh kesah terlontar, yang keluar hanya pujian akan indahnya ciptaan Allah Yang Maha Kaya. Bulir-buliran air itu datang dari tempat yang sangat tinggi, gemericiknya di saat bertemu batu karang menjadi nada-nada nan indah merasuk ke relung hati.


 


Untuk sementara, semua mata tertuju pada pesona Sarasah hingga akhirnya tak ada yang mampu menahan godaan sapaan halus butir-butir airnya yang menerpa wajah. Tanpa dikomando secara bergantian kami mensucikan diri untuk menghadap-Nya di waktu Dzuhur nan indah. Shalat di atas bebatuan dikelilingi hutan nan rindang dan bunyi hempasan air membuat suasana  munajat menjadi lebih khusyu’. Begitu sempurnanya semua yang Engkau ciptakan ya Rabb…


 


Setelah makan siang cuaca perlahan berubah menjadi mendung karena memang saat ini musim hujan. Dengan keceriaan yang tak berkurang, komandan lapangan memimpin tim petualang untuk turun sesigap mungkin. Jika hujan turun jalan akan menjadi licin, maka keluar dari hutan sebelum rintik hujan turun menjadi pilihan satu-satunya. Berlarian di jalan setapak menuruni bukit menjadikan perjalanan terasa lebih cepat. Alhamdulillaah… semua turun dalam keadaan selamat!


 


Perjalanan dilanjutkan dengan tujuan silaturahmi ke rumah seorang tim ahli KOGAMI. Wajah-wajah yang tadinya ceria mendadak menjadi lucu dalam ekspresi. Masing-masing mengarahkan pandangan pada sandal gunung yang dipenuhi tanah, baju lapangan yang tak sama sekali tak cocok dengan suasana  ketika itu. Ternyata, kami diundang ke acara aqiqah! Keramahan tuan rumah mencairkan suasanan, silaturahmi tetap berlangsung dalam suasana penuh keakraban.


 


Kemudian perjalanan dilanjutkan ke Mercu Suar di bukit lampu, hujan deras tak menghentikan langkah karena kebersamaan hari ini harus maksimal dengan tekad Senin tak ada yang boleh mengeluh sakit (namanya juga refreshing, jadi harus fresh, red). Tak ada momen yang luput diabadikan yang mudah-mudahan menjadi pengingat ketika tekanan pekerjaan mulai melonggarkan ikatan persaudaraan.


 


Di saat hujan tak lagi bisa diantisipasi, tim memutuskan untuk kembali ke posko tercinta. Alhamdulillah hari ini berlalu dengan sangat indah. Insya Allah jadwal ke alam akan dijadikan agenda rutin bulanan untuk konsolidasi organisasi. Alam begitu indah untuk ditakuti. Perubahannya adalah bagian dari keindahan, maka jangan artikan bencana sebagai kehendak alam. Bencana terjadi akibat  ketidakmampuan manusia untuk beradaptasi dengan alam.


 


Terimakasih ya Rabb, satukan hati kami dalam cinta kepada-Mu.


 


Kogamers : Nina, Rini, Desi, Sil, Memeng, Rika, Riri, Dewi, Indah, Patra, Moan, Wicak, Dedi, Sudi, Andi, Dante, Dodi, Hendra, Rahmad.

Saturday, December 9, 2006

POLYGAMI NO, SELINGKUH YES!

Akhir-akhir ini rame sekali di media tentang UU yang akan mengatur kembali atau lebih tepatnya memperketat aturan Polygami (halusnya sih.. padahal intinya melarang polygami). Semua bersuara sangat sengit seakan-akan polygami menjadi musuh masyarakat atau penyakit yang harus dibasmi sampai ke akar-akarnya. Aneh, semua merasa kepanasan seakan-akan dia yang sedang teraniaya. Hak pribadi orang lain untuk menentukan jalan hidupnyapun perlu dicampuri. Hukum Tuhan menjadi yang ke sekian demi emosi pribadi yang harus tersalurkan. Aku tidak anti polygami dan sama tidak siapnya dengan kaumku lainnya untuk dipolygami, tapi aku tidak punya hak untuk mengomentari keputusan yang diambil oleh orang lain, apalagi menentang hukum Tuhan.


Yah, sangat setuju jika para pasangan yang akan menempuh jalan polygami beranjak dari komunikasi yang bijak walaupun tidak ada keharusan seorang suami meminta izin kepada istri jika ingin menikah lagi. Aku juga sangat keberatan kalau polygami kemudian menjadi alasan bagi para lelaki yang hanya ingin menggunakannya sebagai alasan untuk "memuaskan nafsu" tanpa memandang hal-hal yang harus dipenuhi seperti prinsip keadilan, dsb.


Lagi-lagi tak habis pikir, PERSELINGKUHAN yang telah merajalela dari dulunya tak pernah tuh diributkan mengenai Undang-undang yang membatasi si pelakunya. Semua dianggap urusan pribadi yang tak boleh dicampuri oleh orang lain. Lalu ? Apakah sang istri rela begitu saja seandainya suami menjadi punya alasan untuk mempertahankan perselingkuhan karena ada pelarangan POLYGAMI?


Wah, para lelaki akan bersorak-sorai seandainya PP yang "melarang" polygami disahkan .. karena ada alasan untuk tidak bertanggung jawab atas perbuatan haram yang telah dilakukannya (eit, para suami yang tak selingkuh dilarang protes).


Hanya sekedar uneg-uneg atas hukum yang serba terbalik di jaman sekarang :). Na'udzubillaahi min zalik

Tuesday, December 5, 2006

Polygami? bosan ah....

Polygami ? Hanya karena Aa Gym public figur yang segitu di "kultus" kan selama ini, semuanya jadi kasak kusuk, bahkan Presiden dan perangkat pemerintah pun jadi ikutan kelabakan, padahal banyak juga lo pelaku polygami di negeri ini dan rumah tangga mereka baik-baik saja. Klo misalnya Polygami dilarang, aku juga ga setuju tuh.. Mana bisa hukum syariah diutak-atik.. Itu peraturan tertinggi dari Allah. Tapi, klo diatur agar si pelaku polygami lebih bisa bertanggungjawab, itu harus!!


Justru, yang seharusnya dibahas adalah UNDANG-UNDANG yang MELARANG PERSELINGKUHAN! Udah jelas haram kok.... ditinjau dari sudut manapun. Nah, pelaku nya dipecat aja tanpa surat peringatan dan dikenakan sangsi sosial yang sangat berat... Ini nih yang harus dilaksanakan secepatnya, klo bisa SEKARANG JUGA!


Udah ah, kenapa juga harus ngebahas polygami atau perselingkuhan ya ? Mending aku mikrin diri sendiri yang masih jomblo ini. Tadi malam, aku ketemu sahabat ku... sahabat terawet yang aku punya. Sebentar banget sih karena udah malam. Nah, dia ga pernah tuh sampe ngurusin aku soal "pribadi" karena dia dah tahu sobatnya ini luar dalam. Kemaren malam, sobatku rada kesal bilang "Aku ga mau dengar alasan apapun lagi soal kamu yang belum juga menikah sampai saat ini. Niat ga sih?". Alaah... ga pernah dia sesewot ini. It means she still cares about me.... Thanks sobat!


Aku hanya bisa ngasih jawaban "No worries .. Aku ingin menikah dan akan menikah di saat Allah telah menetapkan waktunya."


Mohon doanya, sobat ! Merentas jalan menyempurnakan dien tidak hanya masalah merubah status dari single menjadi couple tapi lebih pada bentuk pengabdian sejati kepada Allah yang telah memberikan anugerah di setiap detik kehidupan dengan cara menjaga semua yang telah dititipkan-Nya. Moga ku bisa...


 

Wednesday, November 29, 2006

Ketika Harus Berbagi Cinta...

 Aku ga menemukan judul yang lebih pas mewakili kata hati yang ingin aku tuliskan. Untuk ke sekian kalinya kisah polygami hadir mengisi memori dan hatiku. Kali ini ada rasa yang tak bisa diungkapkan karena torehan dukanya sangat dalam terhadap orang yang aku sayangi, syaraf-syaraf ku pun merespon hingga aku harus mengakui bahwa aku teramat sedih. Bukan berarti aku mengingkari bahwa polygami itu dibolehkan karena memang ada firman Allah yang menyatakan demikian. Ungkapan klasik yang mau ga mau harus diakui dan dicarikan solusinya dengan adil “Wanita mana sih yang rela suaminya menikah lagi?”. Hal ini pula yang menyebabkan imbalan berupa sorga bagi isteri yang ikhlas menjadi sangat masuk akal karena ujian berbagi cinta pastinya menjadi ujian terberat bagi seorang isteri. Bahkan rumah tanggal Rasulullah pernah mengalami gejolak karena satu kata “cemburu”.


 


Aku tak bisa mendalami sejauh mana rasa sakit itu menghampiri perasaan seorang isteri karena aku tidak pernah berada dalam kondisi tersebut. Namun di setiap curhat ummahat sebelum ataupun sesudah suami mereka menikah lagi, aku ikut larut dalam setiap bulir air mata mereka. Tangis itu tidak semuanya melukiskan kecengengan, di antaranya menangis karena mereka belum mampu setabah dan setegar Siti Aisyah atau Siti Hajar. Mereka takut kalau tidak punya kesempatan yang banyak menuju gerbang sorga karena kecemburuan dan kemarahan pada sang suami. Buat mereka, selama ini suami atau lebih tepatnya keluarga adalah ladang untuk menuai pahala. Sejak ijab kabul terucap telah terpatri azam dan janji pada Sang Khalik untuk membina keluarga sakinah mawadah warahmah dengan berbakti sepenuhnya kepada suami dan menyayangi buah cinta yang mereka punya.  Sorga yang sangat dirindukan terasa makin menjauh karena senyum ikhlas tak mampu lagi mereka persembahkan untuk suami tercinta. Setidaknya inilah salah satu isak dari isteri-isteri shaleha yang pernah aku dengar (sayang para suami mungkin tidak mengetahuinya).


 


Di hari yang lain, seorang ukhti berbagi cerita denganku bahwa ayahnya ternyata punya isteri yang lain selain ibunya sejak 10 tahun yang lalu. Sang ibu baru mengetahui seminggu ini, itupun karena si isteri kedua datang ke rumah memperkenalkan diri dan curhat karena sang suami tak lagi menafkahi keluarga. Kalau tak berada dalam keadaan terpepet, dia sama sekali takkan pernah datang ke rumah itu karena dia tak mau mengganggu ketentraman keluarga yang telah dahulu dibina oleh sang suami. Ukhti tersebut sangat berbesar hati. Dia tidak marah pada ayahnya karena dia sama sekali tak pernah kehilangan sosok sang ayah, justru dia kasihan pada ibu kedua-nya karena kesabarannya untuk “dinomorduakan” selama 10 tahun. Buktinya, tak ada yang pernah tahu selama kurun waktu tersebut bahkan gelagat mencurigakan atau bisik-bisik tetanggapun tak pernah mereka dengar.  Namun, dia tak mampu untuk meyakinkan ibunya bahwa keluarga mereka akan baik-baik saja karena selama ini pun sang bapak tidak mengurangi sedikitpun kadar cintanya. Tapi luka itu tak mau pergi… Ukhti itu ingin sekali memperlakukan ibu kedua-nya selayaknya memperlakukan seorang ibu namun dia tak mau menyakiti ibu kandungnya bahkan lebih sedih lagi karena dia belum berhasil untuk membujuk ibunya agar tak mengajukan gugatan cerai kepada ayah yang sangat dicintainya.


 


Apakah sakit hati, marah dan benci memang menjadi bagian dari perangkat CINTA ? Entahlah, aku berusaha sekuat tenaga untuk menyangkalnya karena yang aku tahu CINTA itu adalah sumber kebahagiaan dan jika marah, benci dan sakit hati mulai mendominasi perasaan maka pastilah kedudukan cinta itu telah bergeser. Apapun penjabaran dan alasannya, takut kehilangan cinta menjadi alasan yang rasional dan manusiawi. Bukankah sebelum seseorang memutuskan untuk menikah, dia telah berjuang cukup banyak menemukan “cinta” nya dengan ikhtiar, sujud yang dalam dan doa-doa panjang karena cinta akan membuatnya mampu mereguk banyak pahala sebagai kunci menuju sorga? Setelah doa dikabulkan, tak peduli harus bernaung di kontrakan kecil, pindah kontrakan beberapa kali, makan seadanya, berhenti bekerja, bahkan meninggalkan segala kemewahan yang selama ini dipunya hanya untuk alasan cinta dan pengabdian, karena sadar bahwa tujuan pernikahan adalah untuk menggenapkan dien. Hingga, tak sedikit isteri yang mampu mengantar suaminya menuju jenjang kesuksesan, dilimpahi banyak rezki dan kebanggaan. Sangat wajar bukan jika duka itu menyeruak di saat mengetahui suami berbagi cinta atau jatuh cinta lagi ?


 


Maaf sahabat, aku menulis ini dalam keadaan yang sangat emosional. Hal ini jadi catatan penting buatku, ternyata aku masih jauh dari kadar seorang muslimah yang mampu memahami hakikat polygami. Saat ini, bukan aku yang mengalami tapi hatiku sudah protes demikian hebat. Maka, aku menyatakan penghargaan dan kekaguman yang tinggi kepada isteri-isteri yang tetap setia dan suami-suami yang adil dalam melajukan biduk rumah tangganya yang akan mudah sekali oleng bila irama kayuhnya tak sama.


 


* Aku malu ya Rabb, ujian yang Kau berikan padaku tak sehebat ujian yang Kau berikan pada mereka namun keluh kesahku lebih banyak dibanding doa yang mereka untai. Lindungi aku dari perbuatan zhalim kepada makhluk-Mu. Amin.

Friday, November 24, 2006

Permata Hati

Tadi malam hp ku berbunyi, satu pesan diterima "Alhamdulillah telah lahir putra kami pada pk. 7.40, mohon doakan menjadi anak yang shaleh". Setiap kali pesan yang sama muncul di layar hpku, setiap kali pula aku sadar bahwa ada senyum bahagia terbentuk sengaja ataupun tidak. Kabar kelahiran seorang anak adalah kebahagiaan bagi setiap makhluk yang bernama  manusia.


Begitu juga ketika kedua keponakanku lahir, ada kebahagiaan tiada tara. Tak henti mata ini menelusuri setiap kesempurnaan - Nya hingga. Betapa KREATIF nya Sang Pencipta yang tak pernah kehabisan "model" untuk manusia baru yang dihadirkan-Nya ke dunia, bahkan anak kembar pun masih bisa dibedakan. Tentu saja jauh sekali dibandingkan dengan kreatifitas pembuat boneka ataupun pembuat robot yang mudah sekali kehilangan ide untuk membentuk wujud yang baru.


Akhirnya, bayi yang tadinya polos dan disambut dengan suka cita terutama oleh ibu bapa yang mengharapkannya dengan sepenuh doa dan ikhtiar tumbuh dan berkembang. Perlahan di beberapa keluar, senyum bahagia itu semakin mengembang karena sang anak berjalan sesuai dengan tuntunan Sang Illaahi yang telah menjadikannya ada atau malah sebaliknya, memudar karena lingkungan telah mempengaruhi tingkah lakunya .. kata halusnya "melenceng dari jalan kebenaran".


Maaf judulnya jadi ganti, karena idenya tiba-tiba jadi ngebahas sang bayi tadi dan perjalanannya menuju dewasa. Yah, karena ada kontemplasi pada diri sendiri, apakah aku termasuk anak yang bikin senyum orang tua makin mengembang atau malah jadi tertahan? Rabb, ga mungkin aku membalas jasa orang tuaku bahkan setitikpun takkan sama tapi berilah aku modal keikhlasan untuk mengabdi dan membuat mereka bahagia.Amin

Anugerah Gusti Allah by W.S. Rendra

Seringkali aku berkata, ketika orang memuji milikku
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipanNya,
bahwa rumahku hanyalah titipanNya,
bahwa hartaku hanyalah titipanNya,
bahwa putraku hanyalah titipanNya,

Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya,
Mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?
Dan kalau bukan milikku,
Apa yang harus kulakukan untuk milikNya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat,
Ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya?

Ketika diminta kembali,
Kusebut itu sebagai musibah
Kusebut itu sebagai ujian,
Kusebut itu sebagai petaka,
Kusebut itu dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.

Ketika aku berdo'a,
Kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
Aku ingin lebih banyak harta,
Ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak popularitas,
Dan kutolak sakit,
Kutolak kemiskinan, seoalah semua "derita" adalah hukuman bagiku,
Seolah keadilan dan kasihNya harus berjalan seperti matematika:
Aku rajin beribadah, maka selayaknya darita menjauh dariku,
Dan nikmat darita kerap menghampiriku.

Kuperlakukan dia seolah mitra dagang,
Dan bukanlah kekasih.
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku",
Dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku.

Gusti,
Padahal tiap hari kuucapkan,
Hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah.....


"Ketika langit dan bumi bersatu,
bencana dan keberuntungan sama saja"
Adalah anugrah"

WS Rendra

Wednesday, November 22, 2006

Bikin Komik, seruuu......... !

Masih tentang Workshop IDEP yang dihadiri oleh participants yang unik dan kreatif (kenyataan nih). Hari kedua aku milih kelompok bikin komik baru about Kebakaran Kota. Entah gimana, aku ditakdirkan harus sekelompok ama Yuni dan Asti ssttt.. yang tadinya aku kira pendiam  (sorry sobat). Masih ingat banget fasilitatornya itu mas Trisna dan Pak Pur. Udah deh, belum juga disuruh untuk nuangin ide, secara bersahut-sahutan three girls ini ngasih ide jalan cerita, anehnya bisa nyambung pula jalan ceritanya. 


Dimulai dengan pemilihan tokoh : seorang veteran pemadam kebakaran yang udah ga bisa melaksanakan tugas karena mengalami kecelakaan kerja. Kakinya yang cedera mengharuskan dia pake satu "kruk", eit walo gitu dia masih terlihat gagah lo .. orangnya cakep berkumis tipis dan uban di samping kepala bikin sang veteran makin terlihat charming (hahahaha.. jadi ingat ekspresi mas Trisna dan bapak-bapak lain yang geleng-geleng kepala... Ampuuun...!).


Walau dia punya keterbatasan, loyalitas terhadap tugasnya masih sangat tinggi. Melihat kondisi perumahannya yang rapat dengan jalan yang sempit dan sangat rawan jika terjadi ancaman kebakaran, dia mencoba untuk mensosialisasikan pentingnya mencegah kebakaran ke warga sekitar. Tapi, orang-orang dewasa "mencemoohnya" apalagi dengan keadaan fisiknya yang "cacat". Namun, dia ga putus asa dan mengalihkan perhatian kepada anak-anak dan remaja yang sering bermain dengannya. Ssst... satu lagi kelebihan bapak ini adalah : dia pebasket handal di institusinya dulu, jadi walau harus pake kruk sebelah, gerakannya masih tetap lincah dan jarang sekali gagal memasukkan bola ke jaring. Tentu saja, hal ini jadi daya tarik buat anak-anak di sekitar kampung. Selanjutnya.... tunggu komik nya dicetak IDEP ya ??....


Saking kreatifnya, ide cerita bisa berganti sekali lima menit, tinggal aja mas Trisna bingung mau ngetik yang mana. Akhirnya Yuni mengambil alih dan berimajinasi sejadinya.. Jalan cerita berubah lagi sesuai moodnya Yuni. Nah, waktu plenary, Asti yang mempresentasikan... gawat ! Jalan ceritanya berganti lagi sesuai ama imajinasinya Asti, hehehe.. jadi aja itu komik punya 3 skenario alternatif yang tiga-tiganya menarik (wuih, pede banget lagi!).


Mudah-mudahan komiknya jadi dicetak dan kenangan ketika membuatnya akan menyatukan hati-hati kita. Thanks sobat baru ku...  Makasih Allah udah memberiku selaksa cinta lewat teman-teman yang istimewa.


Klo ada yang mau nambahin, boleh tuh :)


 

Monday, November 20, 2006

Diskusi tentang kerawanan pangan

 


Suasana di pinggiran sawah Ubud emang bikin suasana beda banget! Bau alam di pagi hari begitu mempengaruhi seluruh energi. Ternyata lokasi kegiatan sangat menentukan semangat peserta. Keluar dari kamar bisa langsung nyapa tetangga sebelah kamar juga memunculkan atmosfir persaudaraan yang kental. Beda donk klo dilaksanakan di hotel berbintang yang hanya berbatas dinding dan gang, hehehe parno banget deh gw.


 


Di salah satu working group, aku kebagian ngebahas tentang kerawanan pangan, topik baru yang jadi usulan untuk dimasukkan ke dalam manual. Karena bingung, ga tahu mau mulai dari mana, jadi aja semua sharing tentang “biang kerok” dari kerawanan pangan, yaitu “kemiskinan” yang bukan kemiskinan sebenarnya (nah lo bingung kan ?). Teman dari Lombok bilang bahwa petani di sana yang punya lahan hanya 5% selebihnya adalah petani “gurem”. Bahkan lebih parah di Bali, padi-padi dijual pada saat berumur dua minggu sehingga petani hanya menjadi produsen dan tidak lagi mementingkan menjadi konsumen. Aturan hidup menjadi terbalik, seharusnya bekerja adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga logikanya, petani mestinya ga akan pernah kelaparan. Sekarang engga seperti itu, yang penting uang ada di tangan. Adanya pergeseran budaya membuat cara pandang pun menjadi berbeda. Kalau ada uang di tangan, berarti mereka bisa memanfaatkan sesuai dengan kebutuhan mereka dalam meningkatkan “status” sosial. Seperti, pada suatu daerah status sosial akan meningkat jika anak-anaknya punya Play station atau sang bapak akan bangga mengenakan baju dengan merk yang lagi “.


 


Diskusi itu dipicu oleh pertanyaan lugu ku, “Kenapa harus ada kelaparan ya? Padahal pekarangan rumah bisa ditanami dengan bermacam-macam tanaman bermanfaat. Toh, orang jaman dulu sepertinya ga pernah memperhatikan nilai gizi”. Pembahasan ini terkait juga dengan program Sadar Gizi yang katanya menjadi salah satu solusi untuk kerawanan pangan. Teman-teman tersenyum geli karena nenek moyang kita dulu juga ga pernah belajar gizi tapi anak-anaknya sehat-sehat tuh.


 


Ada satu lagi kontribusi pemerintah tentang Beras sebagai sumber karbohidrat utama, kampanye tentang pentingnya makan nasi telah mempengaruhi pola hidup masyarakat Indonesia. Padahal ga ada yang salah dengan sumber karbohidrat lainnya, seperti : singkong, sagu, dll. Sementara masyarakat terlanjur mikir bahwa yang ga makan nasi status sosialnya lebih rendah. Dan yang paling vital adalah ketidak pedulian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan, salah satunya pembangunan atau perbaikan saluran irigasi. Di sumbar contohnya dengan adanya “harta pusako” berupa sawah yang ga boleh dijual semestinya menyebabkan pemiliknya bukanlah golongan keluarga miskin. Tapi bagaimana bisa memanfaatkannya dengan maksimal jika sawah tersebut adalah sawah yang mengandalkan sumber air dari hujan (sawah tadah hujan). Kondisi ini sungguh memprihatinkan, di musim hujan sawah terancam bahaya banjir, di musim panas sawah tak bisa ditanami.


 


Kemudian ada lagi pertanyaan menggelitik, “Mengapa masyarakat harus menunggu aksi dari Pemerintah, mana semangat gotong royong selama ini?”. Nah, di sini NGO juga disorot, karena salah satu program andalan NGO kaya adalah “cash for work” yang menyebabkan masyarakat menjadi malas. Terima duit, pergi ke sawah buat leha-leha trus pulangnya dapat duit. Alhamdulillaah, aku benar-benar mendapatkan pencerahan bersama teman-teman. Thanks for Suhaimi from Walhi Lombok, Bang Yos (FKPB Kupang), Ipul (Dolphin Palu), Agus Wes from Green Peace, Winata (PMI Bali), Agus (satkorlak bali), Mas Avianto (NU), Aam (DKP) dan Ali, Trisna, Ade, Sayu, Made, Michael, Ilham, P’Pur and Taka from IDEP.


 


See u in next session…

Indahnya Workshop Penanganan Bencana




Mau mulai cerita dari mana ya? Terlalu banyak yang ingin diceritakan karena semuanya sangat indah walau kegiatan yang aku ikuti ini sebenarnya adalah kegiatan yang sangat serius, namanya aja workshop for Community Based Disaster Management (CBDM=Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat) kit review yang diselenggarakan oleh Yayasan IDEP di Bali. Aku yang “parno” banget ama kesendirian mulai nyiapin segala perbekalan untuk “pembunuh” sepi. Norak ya ? Tapi emang itu kenyataannya karena tiap kali dapat undangan workshop, yang kebayang adalah suasana hotel yang pas meeting terkungkung dalam sebuah ruangan dan malam akan terasa sangat sepi. Biasa bekerja di lingkungan yang banyak teman ditingkahi hiruk pikuk suara mereka bikin aku ngerasa kehilangan dunia bila harus ikut workshop di hotel (yang mau ga mau harus diikuti buat nambah ilmu dan membangun link).


 


But, aku salah total! Kali ini workshop ga diselenggarakan di hotel berbintang tapi di sebuah hotel biasa di pinggir jalan Ubud, suasanya rumah banget dan klo aku buka pintu kamar akan langsung memandang sawah nan siap panen. Bahagia benar  berada di suasana desa nan asri. Gitu juga ketika workshop dimulai, aku ga kenal satupun peserta sebelumnya, yang aku kenal hanya Mike. Acara perkenalanpun berlangsung di ruang meeting, sangat singkat difasilitasi oleh Mas Islem, itupun hanya nama dan asal organisasi. Udah gitu, langsung deh milih kelompok untuk pembahasan revisi buku. Nah, di kelompok nih yang asyik banget. Tiap hari ada empat kelompok yang membahas topik berbeda. Mejanya berada di luar ruangan, tepatnya di beranda depan kamar. Judul pembahasannya serius semua, namanya juga Panduan Umum Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat (PBBM) tapi ternyata bicara tentang bencana ga harus ‘serius’ tuh. Sharing pengalaman masing-masing peserta jadi nilai tambah yang ga kan bisa didapat dalam acara-acara formal sejenis. Mungkin juga atmosfir pekerja lapangan emang menghasilkan aura tersendiri, jadinya walo ada perbedaan pendapat tetap aja gelak tawa mewarnai working group.


 


Repotnya, saking pengen maksimal nuangin ide demi “kesempurnaan” buku, walau Ilham berkali-kali ngingatin waktu nya dah habis pake pesan kayak pembawa papan ronde di ring tinju, peserta hanya tersenyum manis sekejap dan kembali asyik dengan diskusi kelompoknya. Akhirnya, tanpa harus dikomunikasikan, tambahan waktu untuk tiap sesi diskusi jadi kesepakatan bersama. Ga ada tuh yang mau buru-buru ninggalin pembahasannya hanya karena ingin tepat waktu seperti tercantum di jadwal. Walo kadang muncul juga istilah-istilah cerdas yang klo dipaksain ada juga hubungannya ama kebencanaan, seperti “Logika tanpa logistik ? Mana mungkin bisa nanggulangin bencana”. Seru !!!


 


Terimakasih for wonderful friends : Mas Islem dan Yuni (MPBI), Petra (bosnya IDEP), Yuli and Heri (Greenhand free school), Jason (Surfaid), Sven (GTZ Aceh), Asti (UNESCO), Vidi (GTZ-IS), Didik (KPB Yogya), mas Banu (Oxfam), Stacey (USAID).


 


To be continued….

Sunday, November 19, 2006

Patah hati?

Membaca judulnya aja udah banyak yang tercenung. Ayo ngaku. Pada pernah patah hati kan? Entah siapa penggagas kata ini, tapi yang jelas ungkapan ini dipakai oleh Negara manapun di dunia untuk menggambarkan rasa “kehilangan” seseorang yang diharapkan menjadi soulmate. Lha jadi ngomongin bahasa, but it’s true dan sama seperti bahasa-bahasa abstrak lainnya, yang ini pun sulit didefinisikan dan tak terukur. Duh, yang pernah ngalamin jadi makin jauh terbawa pada memori itu…. “Pedih, Jendral!”.


 


Ya udah, ga usah berlama-lama di area bahasa. Let’s go forward. Aku hanya ingin kilas balik untuk diri sendiri dan mungkin juga bisa jadi referensi buat teman-teman yang sedang mencari literatur untuk pembahasan “topik” ini (pede banget ya ?). Kata guruku, masalah itu bukanlah hal terpenting, yang paling penting itu adalah bagaimana menemukan jalan keluarnya (beneran lo ini… ).


 


Sehubungan dengan usaha menemukan seseorang yang sama “Jabal rahmah” nya dengan kita dalam rangka melengkapi dien pastinya ada proses donk. Nah, ternyata setelah berikhtiar dan berdoa, keputusan mutlak kan hanya milik Rabb Yang Maha Bijaksana, yang diartikan sebagai : takdir. Mungkin ikhtiar kita menuntun ke arahnya dan mungkin juga tidak. Kalau iya, ya udah berarti ga usah dibahas. Alhamdulillah…. Kalau engga? .. Tiba-tiba ada kekosongan menyelinap… ga bisa diungkapkan pokoknya mah. Ayo, lagi-lagi ngaku !


 


Di sini butuh kebijaksanaan manusia untuk dirinya sendiri. Ada yang membiarkan rasa itu menjalar sangat jauh hingga ia terpuruk sangat dalam dan susah untuk bangkit lagi. Tapi ada juga yang ga membiarkan rasa itu merajalela hingga produktifitasnya hanya boleh hilang dalam hitungan detik. Hidup itu indah selama kita tetap mentransformasikannya dalam bentuk keindahan.


Intinya gini, patah hati itu boleh tapi patah semangat itu pantangan karena jatuh cinta dan patah hati sudah menjadi pasangan yang serasi, tinggal aja memadu padankannya. Patah hati bisa diganti kok atmosfir nya sesuai kebutuhan. Seseorang bisa aja ga patah hati karena udah memperhitungkan faktor resiko dan melakukan persiapan sesuai dengan kadarnya. Kalau dirujuk ke undang-undang kehidupan, pasalnya adalah “Innamal a’malu binniat”, banting stir aja.. kalau tadi niatnya ngejadiin dia sebagai imam dunia akhirat, tinggal diganti aja jadi saudara dunia akhirat, toh otak akan memproses sesuai dengan niat yang diteruskan kepada seluruh anggota tubuh. Simple kan ? Silaturahmi harus tetap jalan donk..


 


Yang baca ga boleh protes.. aku dengar lo dari jauh ada yang bergumam and complain “Andai semudah itu…”. Wallaahu a’lam. 


 


Buat yang lagi patah hati, tersenyumlah karena berarti punya kesempatan baru untuk jatuh cinta lagi. See…?? Life is beautiful, isn’t it?


 


* Semoga bahagia untuk dia yang telah menemukan takdirnya*


 

Monyet di Ulakan-Padang Pariaman




Beda sekali memang nasib anak sapi yang jadi korban untuk menghentikan semburan lumpur panas Lapindo dengan nasib monyet-monyet yang ada di Nagari Ulakan Padang Pariaman. Lihat saja, betapa anak-anak memperlakukannya penuh kasih sayang walau bukan mereka pemiliknya. Foto ini diambil pada saat ada lomba monyet panjat kelapa di Nagari Ulakan, Padang Pariaman. Monyet-monyet yang ikut lomba nampak begitu terawat, terlihat dari bulu-bulu yang bersih dan tubuh yang sehat. Begitu juga ketika sang pemilik menginstruksikan monyet-monyet untuk mengambil kelapa, melompat dari satu pohon ke pohon lainnya, semua diekspresikan dengan kasih, terkadang hadir juga tontonan yang lucu karena ada monyet yang hanya nampang setelah sampai di atas pohon atau ketika monyet ga berani lompat antar pohon tapi malah turun untuk bisa pindah ke pohon sebelahnya yang tentu saja kena sangsi diskualifikasi tapi pemiliknya tetap tersenyum karena bagi mereka lomba ini hanya sebagai ajang silaturahmi. Monyet di Ulakan sungguh beruntung, tidak seperti anak sapi di Porong, Sidoarjo.

Thursday, November 9, 2006

Surat...

Pagi ini  ketika kasak-kusuk nyari sebuah buku yang hilang, mataku tertuju pada setumpukan surat, yang akhirnya mau ga mau, jari-jari ini otomatis menilik satu per satu; ada dari adikku bungsuku tersayang, dari sobatku di Medan, teman-temanku ketika di Malaysia, sobat penaku yang belum pernah ku jumpa sampai sekarang...


Ga cukup sampai di situ, penasaran akan isinya, hingga jari-jari ini membuka lembar demi lembar dan akhirnya kata demi kata ditelusuri. Subhanallah, hawa yang dihasilkan begitu berbeda. Surat emang hanya selembar atau paling banyak empat lembar namun mampu hadirkan memori sekian tahun...


Sekarang, silaturahmi tetap terjalin lewat email tapi kenapa serasa ada yang beda ? Surat membawa nuansa sendiri yang ga bisa diungkapin lewat kata... Pokoknya beda! Mungkin karena perjuangan nulis atau ngetik surat, beli amplop, ke kantor pos dan berharap sampai tepat waktu .. itu yang bikin surat jadi punya nilai lebih. Entahlah .. aku lebih sering menitikkan air mata rindu ketika baca surat dibanding baca email. Hmm.. sisi melankolis ku aja kali ya ?


Maafkan aku sobat, jika sekarang aku tak serajin dulu lagi berkirim surat... namun insya Allah aku akan selalu ingat di rangkaian doa-doaku biar kita kembali dipersatukan di surga Allah karena silaturahmi dan kasih sayang yang kita jalin penuh keikhlasan. Amin.

Anak Sapi di Lumpur Panas Lapindo

 


Menyaksikan berita di salah satu stasiun TV tentang lumpur Lapindo bikin hati ini ikut panas. Bukan karena bosan sama pemberitaan yang tiada henti, sama sekali enggak. Siapa sih yang ga ikut sedih ngelihat rumah yang tenggelam dan penghuninya harus mengungsi padahal rumahnya masih pada bagus?


 


Namun kali ini perasaan itu lebih membuncah daripada biasanya. Coba, apa hubungannya ngebuang anak sapi hidup-hidup ke dalam lumpur yang segitu panasnya ? Trus dibiarin menggelepar-gelepar sampai mati. Katanya, cara itu bisa menghentikan semburan lumpur. Sebenarnya aku juga ga mesti protes, di zaman sekarang, jangankan nyiksa hewan, berita tentang kekerasan, pelecehan dan pembunuhan sesama manusia aja jadi tampilan yang sangat biasa. Setiap stasiun TV berlomba-lomba memberitakan kekejaman demi kekejaman yang terjadi.  Ada apa sebenarnya dengan nurani manusia Indonesia?


 


Kembali ke persoalan anak sapi, Allah pasti sangat tidak menyukai hal tersebut. Orang buat motong ternak aja diharuskan memakai pisau yang sangat tajam biar hewan tersebut ga kesakitan eh ini malah sengaja nyiksa ? Alih-alih lumpur bisa dihentikan, mungkin juga ga akan pernah berhenti karena kita bukannya berusaha sekuatnya untuk makin meminta pertolongan kepada Allah dengan jalan yang diridhai malah nyari jalan macam-macam dan jauh unsur yang disukai Nya (ga mau bilang yang paling extrim : syirik!). Apa ga lebih bermanfaat tuh anak sapi dipotong, digulai dan dibagiin ama pengungsi sambil mensyukuri nikmat tersebut ? Allah akan mendatangkan rezki dari tempat yang ga disangka-sangka klo kita pandai bersyukur. Bisa aja rezki itu berupa dihentikannya semburan lumpur, ya kan?. Wallaahu a.lam.


 


Mohon maaf bagi yang ga setuju. Ini hanya curahan hati dari seorang anak manusia yang ingin mencintai Allah semampunya.

Tuesday, November 7, 2006

Doa hening

Kata demi kata


Tersimpan jauh di sudut kalbu


ketika semua bisu


tak satu pun terlisankan


hening terangkai dalam tengadah doa


tak perlu bisik


sepenuh hati dalam tiap tarikan nafas


biarkan jendela dunia itu basah


hanya itu yang bisa ungkapkan


pasrah pada takdir-Mu, wahai Rabb


karena ku bukan Rabi'ah


*Amin*

Thursday, November 2, 2006

Aduh ! Tingkat Kecerdasan Anjlok

Bulan ini kembali kegiatan Emergency Capacity Building (ECB) di Padang Pariaman dimulai, malah lebih seru lagi.. LSM ku KOGAMI kerja di 7 Nagari (desa) sekaligus. Senangnya menikmati suasana bersama masyarakat yang beragam. Hingga ingatan ini melayang pada acara community meeting yang dilaksanakan dua bulan lalu. Seperti biasa, dengan lancar aku bertutur tentang mekanisme terjadinya gempa, dimulai dengan permukaan bumi seperti telur dan bentuk bumi yang bulat. Eh tiba-tiba ada satu orang bapak nyelutuk : "Bu Patra, kalau bumi kita bulat dan berputar, kenapa kita ga pernah terpelanting sekali waktu. Kan ada waktunya pasti kita di bawah ?". Tentu saja dengan bahasa setempat dan pertanyaan itu benar-benar polos karena ketidak tahuan.


Nah..Nah.. kemana nih ilmu bumi yang aku pelajari ? Iya sih, ada gaya gravitasi tapi gimana ngejelasinnya. Yang ada malah aku ikutan jadi mikir "Kenapa ya kita ga terbalik?" Huahahaha... Tingkat kecerdasanku jadi anjlok ke titik nol. Akhirnya mesem-mesem, aku jawab "Ntar, saya buka buku lagi ya pak, saya juga lupa tuh". Untung si bapak puas tapi ternyata dia emang butuh jawaban. Sampai sekarang nagih terus. Tolongin donk.. please....




 

Wednesday, November 1, 2006

Memoirs of A Gheisha

Kayaknya telat banget kali ya klo aku pengen bahas nih film. Biarin deh, daripada ntar penasaran sendiri. Udah lama sih dapat referensi dari teman-teman, tapi karena alasan "sok sibuk" tea, jadi aja sering lupa buat minjam VCD nya. Nah, sekalinya ingat, tuh film keluar melulu. Alhamdulillah, kemaren malam dapat kesempatan juga buat nonton.


Mengharukan... Maksudnya, dari film itu, aku jadi benar-benar makin merasa beruntung lahir sebagai muslimah dan hidup di Indonesia. Intinya, sih emang perjuangan seorang bocah kecil bernama Chiyo untuk bisa menjadi dirinya sendiri. Perjalananannya itu lo yang luar biasa... mulai dari dijual, ga punya pilihan, hampir putus asa sampai akhirnya ada momen yang ga lebih dari lima menit yang bikin dia punya semangat untuk ngelanjutin hidup... yup, setitik perhatian dari seseorang yang ga dikenal di saat dia emang butuh someone to lift her problems.


Intinya mah, setitik perhatian itu menjelma menjadi harapan yang besar... yang kata orang-orang namanya 'CINTA'. Mmh.. kesabarannya untuk menjaga cinta itu sekarang jadi inspirasi nih buat aku yang ternyata klo emang itu takdirnya, tetap akan dipersatukan Allah. Hanya butuh kesabaran dan tawakal ama destiny... of course after ikhtiar sekuat tenaga dan doa sejadi-jadinya. Nah lo kok jadi masuk ke wilayah pribadi nih ? ... Thanks a lot pokokna mah buat yang udah ngasih rekomendasi untuk nonton film ini.  I dont want to be a Geisha, but I really want to be a real muslimah. Amin.

Tuesday, October 31, 2006

Phobia Rapat ?

 



Kata orang rapat itu ngebosanin, baru aja duduk di ruang rapat udah pada lihat jam .. "kira-kira berakhir jam berapa ya ?". Belon mulai udah pengen berhenti. Dulu juga aku pernah ngalamin gitu. That's a boring time ! Bahkan ampe ada novelnya segala "Death by Meeting". Tapi sekarang, wah kayaknya rapat jadi salah satu momen yang paling ditunggu-tunggu tuh di tempat kerjaan ku sekarang. LSM emang kudu berjuang mati-matian biar bisa eksis dan nunjukin karyanya, so jarang banget pengurus dan relawan bisa ngumpul bareng. Semua berlomba untuk menuntaskan target yang dibuat.


Paling say "Hai" di pagi hari, itupun klo sempat. Trus, mulai deh mengurus lahan garapan masing-masing. Nah, sorenya ada waktu untuk becanda bentar, pulang .. dan gitu seharusnya. Akhirnya rapat rutin adalah momen yang dinanti-nanti, pokoknya yang nama undangan sms atau telfon yang judulnya "rapat" kagak usah diulang mpe dua kali deh. Semua kumpul bawa catatan masing-masing... dan yang terpenting bisa lihat semua wajah teman-teman tercinta. Siapa bilang rapat membosankan ? Yang penting mah bisa mengcreatenya menjadi aktifitas yang menyenangkan. Kuncinya ?.... Rasa persaudaraan aja kok. Ampuhlah pokokna mah, klo modal "kangen" udah ada di hati masing-masing.

Thursday, October 19, 2006

Janji Allah - tuk yang sedang merindukannya

Tadi pagi aku menelfon seorang sahabat .. masih seperti dulu, kata demi kata meluncur dengan ringan layaknya dua orang yang sedang melepaskan rindu... yang akhirnya ma ga mau membahas juga topik yang ga akan pernah habis kecuali dibatasi oleh satu kata "MENIKAH", apalagi kalau bukan "JODOH".


Intinya, kita lebih bingung sama orang-orang yang lebih pusing dari kita, mikirin jodoh kita tapi ga nawarin solusi. Dunia memang aneh, seakan bumi berhenti berputar jika di saat seseorang belum menemukan pasangan hidupnya. Bahkan, rasa tak empati muncul lewat pernyataan "Kamu sih kelewat milih". Berani deh taruhan, siapa yang mau nikah bak beli Cuan Kee, pas lagi lapar, Cuan Kee lewat dan langsung bilang "beli mas". Bayi aja bisa milih kok, ponakan ku tuh di saat bubur bayinya diganti, langsung protes tuh ga mau makan, padahal usianya belum cukup setahun. Lewat gelengan, dia bisa menentukan pilihannya. Bukankah, pilihan lah yang membedakan manusia dengan hewan, iblis dan malaikat ?


Siapa sih manusia yang ga ingin menjadi ummat Rasulullah ? Yang ga ingin melengkapi pengabdiannya kepada Allah melalui cinta yang halal suci dan berkah ? Trus, siapa juga yang ga yakin bahwa itu jodoh itu hak mutlak dari ALLAH ? Emang kita bisa milih klo udah seperti itu ketentuan Nya semenjak kita masih di kandungan ? Punya Kuasa apa kita atas kehendak Allah ? Aneh memang... Lalu, kenapa harus gelisah ? Apa karena kita milih trus jodoh kita ditukar atau dicancel ? Engga banget kan ?


Satu pernyataan membosankan lainnya "Kamu ga ikhtiar sih ?". Tahu dari mana ? Apa ikhtiar harus diiklankan atau diumumkan ? Intinya mah .... pasrah ama keputusan ALLAH. ALLAH MAHA TAHU kok kebutuhan hamba-hamba-Nya dan ALLAH tak pernah ingkar janji. Bukankah ditetapkannya jodoh sebagai salah satu takdir yang tak bisa dirubah adalah sebentuk janji dari SANG KHALIK ? Kenapa harus menggugat ? Ketukar aja ga mungkin apa lagi dibatalkan, tul ga ? Kok kadang manusia merasa berkuasa dibanding Sang Penguasa langit dan bumi....


Lucu nya lagi, kita sering menggugat buruknya dampak globalisasi terhadap kehidupan dan lingkungan.. tapi kita justru lebih sibuk memikirkan kepentingan pribadi "JODOH, JODOH, dan JODOH' padahal ini hanyalah salah satu episode hidup yang harus dijalankan. Mana peran kita sebagai Khalifah ? sudah maksimal kah ? Sudah bersyukurkah kita dengan segala ilmu yang dititipkan - Nya? Ingin merubah dunia tapi ga berbuat apa-apa selain merutuk padahal banyak celah yang bisa dimanfaatkan..


MENIKAH itu HARUS kalau masih ingin menjadi ummat Rasulullah.. tapi MENIKAH bukanlah tujuan akhir ! So, BERKARYA di setiap detik kehidupan, itulah yang paling penting.... Para JOMBLO, percayalah akan JANJI ALLAH.


Jadi, alangkah lebih baik kalau kita berjumpa kita mendiskusikan hal-hal yang lebih penting buat masyarakat banyak, seperti : pengentasan kemiskinan, penanganan bencana, peningkatan mutu sekolah, peningkatan potensi diri, program peningkatan keimanan, dsb.


Toek sobatku : Jangan pernah lelah berjuang dan berdoa, ALLAH pasti mendengarkan

Friday, September 29, 2006

Biarkan jari-jari ini mengurai kata

Takkan pernah jari-jari ini penat untuk mengurai kata yang tak semuanya bisa diucap lewat lisan. Jatuh cinta? Aku takkan pernah berhenti mendengungkannya karena tak semua orang bisa merasakannya, biarlah kunikmati dan kurangkai dalam doa-doa malam jika hanya itu jalan untuk menyampaikannya kepada Sang Pemilik Hati, sungguh ku jatuh cinta! Wahai Khalik, rasa ini kuperoleh dari Engkau dan kepada Engkau lah kukembalikan segala keluh kesah penghambaan ini.


Tak mungkin ku tunduk atas rasa ini karena Sang Pemilik Cinta telah menitipkan seluruh cinta-Nya lewat dendang kasih keluarga dan setianya para sobat. Ku hanya ingin melantunkan bahwa ku bersyukur ku bisa nikmati rasa ini.... Karena suatu saat aku membutuhkannya untuk membangun mahligai cinta nan halal dan suci. Biarlah tetap kudendangkan ke atas pangkuan-Nya karena Dia sungguh mengerti kenapa ku sangat berharap dalam pinta.


Wahai Rasul, aku akan menyongsong sunnahmu .. walau ku tak tahu ikhtiar seperti apa yang pantas aku lakukan.. Aku ingin menjadi bagian ummat-Mu, maka shalawatku berkumandang untuk cintamu kepada bunda Khadijah, Aisyah dan bunda tercinta lainnya. Maka, biarkanlah kuberkata "Rabb, halalkan rasa cinta ini jika Engkau berkenan untuk menetapkan dia sebagai pilihan terbaikmu untukku dan jika tidak, takkan pernah pudar setitikpun cintaku kepada-Mu karena hanya Engkau yang selalu ada di setiap desah nafasku... dan tak pernah tidur untuk menjagaku."


Biarkanlah ku "jatuh cinta" pada makhluk indah ciptaan-Mu... Kalau dia yang akan Kau kirimkan, maka mudahkanlah jalannya, jika tidak... tunjukkanlah jalan yang lain .. yang lebih indah.


terimakasih Rabb.. thanks Jamps for your love


 

Friday, September 22, 2006

Tentang sebuah rasa...

Benarkah tak lazim bagi seorang muslimah untuk berkata "kutlah jatuh cinta" ? Ah, aku ga mau terkungkung dengan ketaklaziman itu, karena memang ku sedang jatuh cinta. Tak semua orang bisa merasakannya dan tak setiap saat rasa itu bisa datang. Ku hanya ingin menyederhanakan untuk menjadikannya sebuah anugerah yang sangat pantas buat disyukuri.

Setelah sekian lama rasa itu tak pernah hadir, kini  aku kembali menikmatinya... Bahagia yang kurasakan memancar ke segala arah dan tanpa kusadari, cahayanya terus berpendar tanpa mampu kuhentikan sedetikpun, menyinari setiap hati orang-orang terdekatku. Saudara, sahabat, orang tua.. siapapun orang yang kujumpai telah kuberitakan bahwa "Aku sedang jatuh cinta"...  dan ingin kuteriakkan dengan keras "Wahai dunia, aku sedang jatuh cinta !".

Walau makhluk indah yang dikaruniakan Allah hadir di depan mataku mungkin ga tahu kalau aku sedang mengagumi keindahannya atau mungkin dia tahu... Entahlah, aku sendiri tak terlalu ingin tahu... walau harapan itu tumbuh semakin besar dari detik ke detik. Bukankah bahagiaku saat ini sudah sangat pantas untuk disyukuri? Sang Pemilik Cinta telah menorehkan dengan cinta kasih sayang Nya kapan jadwal yang tepat untukku merajut mahligai itu. Ku hanya perlu bersabar... Mungkinkah dia yang sekarang kukagumi ? atau mungkin juga sosok lain yang akan hadir di esok hari ? Ah, biarlah Sang Rabb yang bisa menjawab. Mungkin dengan sedikit merayu, aku hanya ingin berkata "Rabb, bolehkah aku pelihara rasa ini dalam bentuk ikhtiar hingga kau ijabah doa-doaku dan dia sebagai jawaban akhirnya? Maaf kalau sekali ini aku sedikit memaksa karena ku ingin mengabdi lebih dalam kepada-Mu seperti yang telah dilakukan oleh hamba-hamba-Mu yang lain dan izinkan aku mencintainya karena Engkau yang hadirkan cinta itu. Ku berjanji untuk tak khianati-Mu apalagi dua kan - Mu".

Untuk seseorang yang ku harap menjadi pendampingku dalam ridha Allah... Semoga.

 

 

 

Tuesday, July 11, 2006

See you World Cup

What team will be a winner in 2010 World Cup?

Brazil
 
 0

Argentina
 
 1

Final Piala Dunia seruuuuuuuu!!! Walau sebenarnya aku ga terlalu suka ama tim Azzuri yang terkenal ama keahlian "diving" and drama lainnya tapi akhirnya aku mihak mereka juga, abis siapa suruh ngalahin Brazil jagoanku? Anehnya, walau ngejagoin Brazil tapi aku suka ama Ballack, Ricardo, Buffon and Zidane juga. Boleh donk ngejagoin tim tapi boleh juga donk ngejagoin pemain yang handal. Lihat aja tuh Ricardo (kiper Portugal) klo lagi ngejaga daerah yang jadi authoritynya uih .. benar-benar pejuang tangguh! Buffon juga hebat walau mungkin ga sehebat Oliver Khan (Kiper Jerman, pemain terbaik piala Dunia 2002). Tentang Zidane? Kemampuan dia untuk jadi motivator pemain di lapangan emang diakui ... mmh.. walau akhirnya ada sedikit kesalahan yang bikin gelar Pemain terbaik 2006 punya noda yang harus dikenang. Entah apa yang terjadi, ketika dia "menyundul" dadanya Matterazzi. Yah, banyak sih yang bisa dipelajari dari lapangan bola.


Ketika pemain tim yang kita jagoin ditekel ama lawan, hati ini ga sengaja bilang "duh maennya kok kasar amat sih?" tapi waktu tim lawan yang kena, ga ada tuh hati berkata begitu, klo pun ada pasti dikit banget kadarnya. Nah lo kok bisa? Pasti donk naluri keberpihakan menuntun emosi kita untuk membela mereka. Aneh ya? padahal mereka ga kenal kita tuh. Dan lebih aneh dan lucu, dalam kehidupan sehari-hari, kita justru lupa untuk "berpihak" pada perasaan orang yang dekat dan menyayangi kita dengan tulus, ya ortu.. ya sodara atau sahabat-sahabat. Seringkali mereka jadi korban atas kejengkelan kita dan mereka ga pernah complain atawa ngasih "kartu merah" atas kelancangan kita tersebut. Karena memang mereka bukan "wasit" yang dibayar untuk itu, tapi mereka adalah orang-orang yang dianugerahi agar hidup kita menjadi lebih berarti.


Mereka juga ga pernah menempatkan kita di "kursi cadangan" karena memang ga ada satupunya orang yang bisa menggantikan tempat kita di hati mereka. Lalu? Kenapa ya kita masih lupa?


Piala Dunia udah berakhir, Gli Azzuri menang .. tapi ya sudah, hati kita senang dan mereka tetap tidak kenal kita. Mending sekarang, kita revisi lagi tuh piala yang ada di hati kita agar tetap mengkilat, karena piala di hati kita bukanlah piala bergilir, setiap orang yang mencintai dan kita cintai mendapat tempat istimewa di setiap bagiannya. Ya kan?


Terimakasih kepada papa, mama, teman-teman dinihariku .. especially to Allah yang selalu ngasih momen-momen indah di hidup ini... I will miss you, World Cup! Welcome to Afrika Selatan 2010! Good bye World Cup 2006 (10 Juli 2006, 4 am: 6-6 for Italia vs Perancis)

Monday, March 20, 2006

Sumatra Surfzone Relief Operation Update - Phase Two "Canoe-Lift" Underway


Sumatra Surfzone Relief Operation Update - Phase Two "Canoe-Lift" Underway
INFORMATION STATEMENT


ISSUED 04 FEBRUARY 05



SSRO Phase One Completion/Summary


The
Sumatra Surfzone Relief Operation was formed on 09JAN05, deploying its
first ships on 13JAN05, delivering 37 tons of food and aid materials --
along with three doctors -- to the islands of Nias and Simeulue. The
SSRO ship Mikumba was the first fully-laden aid vessel to reach
hard-hit
Alafan Bay
in the northwest of Simeulue on January 18, the physically closest
settlements to the epicenter of the December 26 earthquake and tsunami.
Operations at Alafan continued unabated until all relief and medical
supplies were distributed, and the Mikumba and SSRO team returned to
the
port of Padang on 22JAN, having successfully completed all objectives of the "Phase One" action plan.



SSRO founding members Dustin Humphrey, Timmy Turner and Dave Sparkes departed
Indonesia at this time as did Michelle Turner, Kristian McCue and Mirawati Rochnani.

SSRO Phase Two Implementation



SSRO
Director Bill Sharp returned to Sumatra on 24JAN05 for the second time
after a brief visit to the USA to rally financial support for the
cause, and together with Matt George began preparations for Phase Two
operations. An infusion of new team members had already begun to arrive
on scene.
New conscripts include Sam George, well known for two
decades of surf magazine editing and as the writer of the successful
Sony release Riding Giants, who joined the team in
Padang
to coordinate the "canoe-lift," the SSRO's plan to redistribute
urgently-needed fishing vessels from unaffected areas to those badly
damaged by the tsunami.



Also
signing on was Australian Zane Kamat, who through amazing coincidence
has spent the last four years working on a documentary on tsunami
survivors and is also a licensed sea captain and scuba diver. Kamat
will act as marine coordinator and also document the dramatic effects
of the seismic event both above the water and below. Kamat's associate,
Malaysian Yee San Loh, will coordinate the dispensing of relief
supplies, translate and document the activities in digital stills and
video.
The intense desire of two female doctors of SSRO's Indonesian
medical team to return as soon as possible to the tsunami afflicted
area was a great inspiration to all involved. Joining on this voyage is
Dr. Muhammad Fadil (the SSRO's original contact in the local medical
community) and new nurse "Patra." Dr. Alsyssa Scurrah will also rejoin
the team at sea.



Crucial
translation skills will be provided by Sherlie Yulvianti and Rina
Haryanto from the office of charter operator Saraina Koat Mentawai.


Most
importantly, the SSRO wishes to announce that this Phase Two voyage was
made possible by funding grants from SurfAid International and Aceh Aid
at IDEP (Indonesian Development of Education and Permaculture). The
SSRO gives its most sincere thanks those organizations for providing
crucial financial, logistical and moral support in this
surfer-organized grassroots effort to help the people of the tsunami
stricken outer islands of
Sumatra, Indonesia.




Regards,

Bill Sharp


Director
Sumatra Surfzone Relief Operation



Padang, West Sumatra, Indonesia


Newport Beach, California, USA


949-548-6740 SurfNewsTsunami@aol.com



DISPATCH FROM THE
SUMATRA SURFZONE RELIEF TEAM ABOARD THE MIKUMBA


TELOS CUT, SOUTH OF PALAU NIAS, SUMATRA, INDONESIA



TUESDAY, FEBRUARY 1, 2005


It's been a day and a half since we left port at Padang
and now the Mikumba is working its way through the Telos Cut, low
palm-fringed islets crowding around from all sides, making navigation
critical. But this is the shortest route north across the Siberut
Strait and on to Palau Simeulue, approximately two days' smooth sailing
to the north, and the course was planned so the ship would enter the
Cut at dawn.
Sailing weather fine, winds light, seas sheet glass
reflecting high cirrus clouds above. Quite a change from the vicious
local storm front which originally smashed into the early hours of the
SSRO's second voyage last Saturday morning, chasing us back into port
for repairs. But the storm did nothing to sap our resolve.



Yesterday,
January 31, Phase Two of the SSRO's relief efforts took on a new
poignancy -- quite literally. In the tiny Siberut Island village of
Simalepet, a half day's sail from Padang, 16 hardwood dugout canoes and
32 paddles were taken aboard our ship, all to be distributed to
stricken fishing villages in the north. Hand-carved with axes from
single logs, each is between 16 and 20 feet in length, light enough for
two men (or women) to carry, and handy -- if a bit tippy -- on the
water. This vital component of sustainable, culturally consistent
relief now lay stacked amidships on the Mikumba's deck, in stark
contrast to the modern 15-foot inflatable Feathercraft kayak used for
tending and exploration.



To
celebrate completion in the first small step of SSRO's Phase Two
objectives, a "canoe painting" party was spontaneously arranged. The
varied artistic capabilities and the collective best wishes of the
entire crew were cheerfully applied to each precious hull.



Cupped
in the hands of these myriad islands, small villages lay sleeping in
the morning haze. Thatch huts on stilts, typically surrounding a stone
mosque or church, canoes resting on a quiet beach below. So peaceful,
but we know all too well what devastation occurred on the exposed
northwestern coast of these islands where similarly picturesque
settlements were suddenly engulfed by a 30-foot wave and wiped off the
map.



The
Telos Cut (a spectacularly narrow channel between the islands of
Tanahbala and Tanahmasa) is a challenge, but the Mikumba must get north
to Simeulue as quickly as possible. A lone fisherman in his own dugout
drifts by the starboard rail only feet away, balancing effortlessly as
the Mikumba slips past. A smile, a wave of the hand, wishing us "Semoga
Beruntung," or some local good luck.


And to you, too.



###

DISPATCH FROM THE
SUMATRA SURFZONE RELIEF TEAM


ABOARD THE MIKUMBA OFF TELUK BUSONG, PULAU SIMEULUE, ACEH, INDONESIA



THURSDAY, FEBRUARY 3, 2005



The mission continues. The Mikumba made a brief stop in the
port of Gunung Sitoli,
on the east coast of Nias, and picked up a quantity of Vitamin A,
measles vaccine and other urgently-needed medicines which we will
deliver to SurfAid doctors in Simeulue for their ongoing immunization
clinics. Extra batteries and chargers to keep the bridge electronics
perky on the Mikumba were also brought aboard.
Eighteen hours north of Gunung Sitoli is Teluk Busong (sometimes mapped as Gosung), an idyllic bay on the southwest edge of the
island of Simeulue.
After making landfall at dawn, the Mikumba dropped anchor several
hundred yards off a white sand beach, classic a vision of paradise. But
a closer look revealed the unmistakable mark of the December 26
tsunami, even in these protected waters. Most telling were the three
bare palm trunks sticking up out of the sea, approximately 100 yards
from shore. We learned that until recently, three houses stood under
these trees. The entire southern tip of Simeulue submerged some three
feet on the day of the great upheaval, nearly matching the stunning
uplift of reefs on the northern end.



While part of the team went overland to the Sinabong, the main town of
Simeulue,
to complete the paperwork needed to work the waters of Aceh province,
the rest got to work, developing a plan to load relief supplies and
distribute them to the nearby
village of Salur.
Although some are barely accessible by road, these coastal settlements
on the lower west coast of SImeulue are still reeling from the giant
wall of water. Salur, particularly hard hit, sits at the end of the
pavement just south of a washed-out bridge which makes further truck
passage impossible. Despite widespread destruction, the people of
Simeulue are cheerful and industrious, putting back the pieces of their
lives as well as possible.



The
SSRO team arrived in Salur with its population of approximately 500,
setting up its mobile medical clinic in the cramped office of the
Kempala Desa, or village chieftain. Foodstuffs, tools and school
supplies -- especially welcome -- were distributed outside, giving the
whole project a decidedly caravanserai atmosphere.
The biggest
surprise for Salur was the presentation of a two-man dugout fishing
canoe and fishing tackle -- the key components of SSRO's Phase Two
project. After a symbolic passing of a paddle, the handcrafted prahu
was given to the village's most experienced fisherman, a tall, wire man
of some 50 years, who giggled with gratitude, and took delivery of the
priceless vessel at his place along Salur's beach. Battered, but still
a home, still a community, somehow still intact.
The Mikumba lifted its hook at approximately
2 a.m.
and is currently en route for the northwestern region of Simeulue, the
area hardest hit by the tsunami, and a coastline yet visited by major
relief operations. It is known, however, that these small villages
tucked in the lee of the forested headlands, ringing Simeulue's many
palm-lined bays, are still in dire need of assistance, both medical and
supplies. Morale aboard the Mikumba is high, energy and motivation
unflagging. With the operation's moniker "Surfzone Relief" in mind, the
SSRO team is ready to go where others can't in these reef-strewn and
wave-lashed coastlines. Cruising offshore, picking our way through the
coral maze, we look for the smoke of cooking fires, the only sign of
habitation along this primordial shore.



We are heading north to Delam, inshore of the
island of Leukon,
and then will work our way back south. There are many destinations on
our list, and we will be seeking a way to reach villages like Laayon,
where we are told 53 families are isolated, unable to fish and in great
need of aid. We intend to do what we can for them.

SSRO PHASE TWO TEAM



Matt George – Field Command


Sam George - Quartermaster/Watercraft Coordinator/Media Coordinator


Zane Kamat – Marine Coordinator/Media Operations


Yee San Loh – Supply Coordinator/Media Operations/Translator


Sherlie Yulvianti - Sea Ops Translator


Rina Haryanto - Land Ops Translator


Dr. Muhammad Fadil – Medical Coordinator


Dr. Pashiwati Azis – Field Physician


Dr. Ulya Uti Fasrini – Field Physician


Patra Rina Dewi - Field Nurse


Bukti Sihaloho - Security - Provost Marshall/Alafan Province


Raynul Mihiko - Co-Captain/Mikumba


Harudin - Co-Captain/Mikumba