Monday, November 20, 2006

Diskusi tentang kerawanan pangan

 


Suasana di pinggiran sawah Ubud emang bikin suasana beda banget! Bau alam di pagi hari begitu mempengaruhi seluruh energi. Ternyata lokasi kegiatan sangat menentukan semangat peserta. Keluar dari kamar bisa langsung nyapa tetangga sebelah kamar juga memunculkan atmosfir persaudaraan yang kental. Beda donk klo dilaksanakan di hotel berbintang yang hanya berbatas dinding dan gang, hehehe parno banget deh gw.


 


Di salah satu working group, aku kebagian ngebahas tentang kerawanan pangan, topik baru yang jadi usulan untuk dimasukkan ke dalam manual. Karena bingung, ga tahu mau mulai dari mana, jadi aja semua sharing tentang “biang kerok” dari kerawanan pangan, yaitu “kemiskinan” yang bukan kemiskinan sebenarnya (nah lo bingung kan ?). Teman dari Lombok bilang bahwa petani di sana yang punya lahan hanya 5% selebihnya adalah petani “gurem”. Bahkan lebih parah di Bali, padi-padi dijual pada saat berumur dua minggu sehingga petani hanya menjadi produsen dan tidak lagi mementingkan menjadi konsumen. Aturan hidup menjadi terbalik, seharusnya bekerja adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga logikanya, petani mestinya ga akan pernah kelaparan. Sekarang engga seperti itu, yang penting uang ada di tangan. Adanya pergeseran budaya membuat cara pandang pun menjadi berbeda. Kalau ada uang di tangan, berarti mereka bisa memanfaatkan sesuai dengan kebutuhan mereka dalam meningkatkan “status” sosial. Seperti, pada suatu daerah status sosial akan meningkat jika anak-anaknya punya Play station atau sang bapak akan bangga mengenakan baju dengan merk yang lagi “.


 


Diskusi itu dipicu oleh pertanyaan lugu ku, “Kenapa harus ada kelaparan ya? Padahal pekarangan rumah bisa ditanami dengan bermacam-macam tanaman bermanfaat. Toh, orang jaman dulu sepertinya ga pernah memperhatikan nilai gizi”. Pembahasan ini terkait juga dengan program Sadar Gizi yang katanya menjadi salah satu solusi untuk kerawanan pangan. Teman-teman tersenyum geli karena nenek moyang kita dulu juga ga pernah belajar gizi tapi anak-anaknya sehat-sehat tuh.


 


Ada satu lagi kontribusi pemerintah tentang Beras sebagai sumber karbohidrat utama, kampanye tentang pentingnya makan nasi telah mempengaruhi pola hidup masyarakat Indonesia. Padahal ga ada yang salah dengan sumber karbohidrat lainnya, seperti : singkong, sagu, dll. Sementara masyarakat terlanjur mikir bahwa yang ga makan nasi status sosialnya lebih rendah. Dan yang paling vital adalah ketidak pedulian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan, salah satunya pembangunan atau perbaikan saluran irigasi. Di sumbar contohnya dengan adanya “harta pusako” berupa sawah yang ga boleh dijual semestinya menyebabkan pemiliknya bukanlah golongan keluarga miskin. Tapi bagaimana bisa memanfaatkannya dengan maksimal jika sawah tersebut adalah sawah yang mengandalkan sumber air dari hujan (sawah tadah hujan). Kondisi ini sungguh memprihatinkan, di musim hujan sawah terancam bahaya banjir, di musim panas sawah tak bisa ditanami.


 


Kemudian ada lagi pertanyaan menggelitik, “Mengapa masyarakat harus menunggu aksi dari Pemerintah, mana semangat gotong royong selama ini?”. Nah, di sini NGO juga disorot, karena salah satu program andalan NGO kaya adalah “cash for work” yang menyebabkan masyarakat menjadi malas. Terima duit, pergi ke sawah buat leha-leha trus pulangnya dapat duit. Alhamdulillaah, aku benar-benar mendapatkan pencerahan bersama teman-teman. Thanks for Suhaimi from Walhi Lombok, Bang Yos (FKPB Kupang), Ipul (Dolphin Palu), Agus Wes from Green Peace, Winata (PMI Bali), Agus (satkorlak bali), Mas Avianto (NU), Aam (DKP) dan Ali, Trisna, Ade, Sayu, Made, Michael, Ilham, P’Pur and Taka from IDEP.


 


See u in next session…

No comments: