Saturday, March 21, 2009

[Sahabat] Empat Jam Ga Cukup!

by : Patra Rina Dewi

Alhamdulillah, Kamis 19 Maret 2009 berakhir sudah seminar Regional “Building Models for Disaster Preparedness” yang diadakan Komunitas Siaga Tsunami (KOGAMI). Lega! Setelah tiga hari berkutat dan pindah kantor ke Hotel Pangeran Beach. Saatnya balik ke kantor. Kangen!

Di kantor cuma ngabisin waktu untuk temu kangen ama teman-teman, cerita tentang serba-serbi seminar, serba-serbi kantor dan update kabar yang beredar seputar Kogamers. Tiba-tiba telfon berdering. Ups, dari nomor tak dikenal. Kedengaran suara yang super lembut dari seberang sana. Untung si penelfon ga jail, langsung bilang “Puspa Rini...” belum selesai nama itu disebut, aku rasanya sontak, girang banget! Ya ampun ... lama sekali aku ga jumpa sobat kecilku ini, mulai dari SD, SMP, SMA aku dan dia bareng.... pulang sekolahpun kadang suka bareng karena kami tinggal di satu arah.

Trus, kami janjian buat ketemu besok sore (Jumat) sepulang aku ngantor.

Duh rasanya ga sabar, pengen tahu seperti apa wajahnya. Berubahkah? Seperti sobatku lainnya Iyen (Reni Susanti) yang semakin cantik, pakai jilbabkah? Seperti sobat-sobatku : Ik, Tia, Zani, Pipin, Diena, Irma, Net, Rahmi, Lisa, Ira, Eva, Pipiet.. atau tetap seperti wajah yang kukenal dulu, seperti Afrin, Sandra, Uci, Iing atau Riny yang foto-foto mereka aku temukan di Facebook? Ah, ga mau menebak-nebak... tapi rasanya benar-benar ga sabar dan ga mau berandai-andai juga.

Jumat pagi, aku begitu semangat ngantor dan berharap waktu cepat berlalu (biasanya aku ingin jam berputar lebih pelan). Rapat pagi hari di BAPPEDA, kembali ke kantor untuk tugas harian, berdiskusi ama Neysa (partner kerja dari Jerman), shalat ashar.. yuhuuuuu..... 16.30 WIB kutelfon Puspa. Aku begitu bersemangat ninggalin kantor. Teman-teman rada heran klo aku pulang lebih cepat dari biasanya, tapi untuk hari Jumat mereka maklum karena sebagai Ketua Majelis Ta’lim Masjid Baitul Makmur aku berusaha menyempatkan diri untuk hadir pada wirid rutin Jumat. Hehehe pasti mereka nyangkanya aku pergi wirid, padahal salah total! Aku kangen ketemu Puspa!!

Lima belas menit lewat dari 16.30 aku menginjakkan kaki di rumah sobat kecilku. Ah... masa sih udah 18 tahun aku ga ketemu dia? Ga nginjakin kaki di rumahnya? Belum lagi nyampe di depan pintu rumah, tiba-tiba “Assalaamu’alaikum”, kedengaran suara dari dalam rumah memberi salam. Siapa lagi kalo bukan Puspa. Hehehe saking excitednya, aku mpe keduluan ngucapin salam.

Tanpa pakai pemanasan, silih berganti cerita meluncur dari mulut kami berdua. Kadang sabar bergantian untuk saling mendengarkan dan bercerita tapi kadang kami saling balapan pengen cerita. Bayangin aja, 18 tahun sudah tak pernah berbagi cerita. Walaupun zaman kuliah kami masih sama-sama di Padang tapi entah kenapa aku dan dia ga pernah ketemu. Segitu sibuk kah? Ih, baru nyadar sekarang.

Trus, Puspa hijrah ke Jakarta dan kerja di sana. Aku ngelanjutin S2 di Malaysia, trus aku kerja di Bandung selama tiga tahun, trus balik ke Padang. Hmm... tapi itu kan ga seharusnya jadi alasan. Trus kenapa donk? Ya .. sudahlah, yang penting hari ini aku dah ketemu dia.


Dia makin cantik, cantik banget malah! Rambutnya yang dulu panjang, sekarang masih ngelewatin bahu. Wajahnya terlihat begitu segar, ah... benar-benar cantik! Kami bercerita seakan tak pernah berpisah sebelumnya, ga ada jaim-jaiman, cerita mengalir gitu aja... tentang kehidupan, tentang harapan, tentang status yang masih jomblo... hahahaha ternyata aku ga sendirian! Trus kami mulai mengitung teman-teman lainnya yang masih jomblo (sorry Iyen, Pipiet, Lisa, dan Diena klo nama kalian ikut kesenggol) berikut cerita-cerita pendukung tentang status yang masih jomblo tersebut. Sampai di ujung pembahasan, kami dengan besar hati mengakui bahwa alasan-alasan yang kami kemukakan hanyalah sebuah usaha pembenaran terhadap status yang masih sendiri. Namun intinya, kami masih normal dan berhasrat menikah dengan orang yang tepat! hahaha... Berkali-kali tawa berderai menertawakan apa aja yang bisa ditertawakan. Termasuk ide untuk “mengiklankan” diri yang berkualitas tinggi untuk mendapatkan pendamping yang sepadan tanpa terkesan banting harga hahahaha.... (mpe keluar air dari mata).

Mama tiba-tiba muncul bawa kerupuk emping (Ssst... mamanya Puspa adalah Dewan Penasehat Majelis Ta’lim Baitul Makmur, jadi ketauan deh aku ga pergi wirid dengan alasan kangen-kangenan ma sobat lama). Trus papa juga nyelutuk, “Patra itu ya?” ... ya ampun, saking asyiknya ngobrol, aku mpe lupa negur papa yang lagi nonton TV. Aku merasa begitu nyaman di rumah itu, serasa rumahku sendiri.. papa mama Puspa begitu baik dan ramah. Makasih Allah!

Karena ada tamu yang datang, Puspa ngajak aku ngungsi ke kamar. Yes! Makin membuka peluang buat bercerita tanpa sensor. Obrolan tanpa judul dan tanpa chapter itu hanya dihentikan oleh shalat Maghrib, trus dilanjutkan lagi di meja makan. Ssst.... dendeng dan sup bikinin mama enak banget!

Abis makan, balik lagi ke kamar. Bolak-balik cerita tentang diri sendiri, tentang teman, tentang status... dengan versi yang berbeda-beda. Mungkin klo ada alat ukur yang bisa ngukur binar-binar mata, mungkin hasilnya akan berupa grafik yang tak beraturan, peaknya akan berlompatan sana-sini. Sungguh aku tak bisa mengurai kerinduan yang sedang terjalin (iya ga sih Pus? Jangan-jangan aku ge-er sendiri nih.... Biarin ah).

Lagi seru-serunya cerita, telfonku berdering. Siapa lagi klo bukan salah satu dari ortuku tersayang, papa. “Masih lama pulangnya nak? Bisa ga dilanjutin besok?” Duh, empat jam cukup! Tapi aku harus pamit.

Puspa mengantarku sampai teras depan dan kukebut motorku pulang. Sungguh pertemuan yang indah, moga tetap indah sampai di syurga Allah nanti. Amin.

Jumat, 20 Maret 2009

Diikutsertakan dalam Lomba Menulis Tentang Sahabat

Thursday, March 19, 2009

Jangan Percaya 100 persen!

Aku sering sekali baca kalimat satu ini, "Dont trust anybody 100% even yourself!". Tadinya aku ga ngerti sama sekali kenapa ungkapan kayak gini harus ada di dunia? Bukannya kita harus percaya sama orang tua, saudara, sahabat, teman atau siapapun? Eh ini mah katanya bahkan jangan percaya ama diri sendiri juga.

Kemaren Allah ngasih jawaban, ngasih pengetahuan klo ungkapan itu emang benar!

Memang sih aku belum kenal lama sama teman yang satu ini. Perkenalan aku dan dia dimulai dengan hubungan kerja. Silaturahmi terjalin sangat baik hingga akhirnya kita merasa nyaman satu sama lain. Akhirnya merembet juga untuk ngomongin masalah kerjaan. Realita yang ada dalam membangun sebuah lembaga, penuh lika-liku dan tantangan.

Semuanya masih baik-baik saja, sampai akhirnya ketika dia mendapatkan tekanan dari atasan sehubungan kerjasama yang tengah kami bangun, dia mulai lose control. Diskusi-diskusi yang terjalin selama ini mengenai informasi lembaga menjadi bumerang yang menghantam! Masih untung kalau kenyataannya seperti yang dia lontarkan. Informasi itu menjadi kalimat-kalimat dan pernyataan-pernyataan yang begitu dahsyat sesuai dengan imajinasi dan skenario yang dibuatnya sendiri secara emosional.

Ah mengapa aku baru sadar tentang nasehat itu "Jangan percaya orang lain 100% bahkan dirimu sendiri!". Yup, aku seharusnya tidak percaya sama diriku sendiri bahwa aku merasa aman untuk menceritakan hal-hal yang seharusnya aku simpan pada sebuah tempat yang rapat. Aku seharusnya tidak percaya pada diriku sendiri bahwa sebuah komunikasi bisa saja membuatku terbius ke dalam lingkaran yang seharusnya tidak aku sentuh.

Seperti jika seorang jatuh cinta maka seharusnya dia tidak percaya 100% dirinya bisa mengendalikan gejolak asmara sehingga pada akhirnya dia baru sadar bahwa sesuatu yang tak diinginkan telah terjadi akibat percaya 100% pada diri sendiri.

Mulai saat ini, aku hanya percaya Allah 100%. Selebihnya aku akan menempatkan kepercayaan sesuai dengan porsi yang seharusnya, dengan siapa aku sedang berhadapan.

Begitulah teman....

Tuesday, March 10, 2009

[Sahabat] Sahabat, Sebuah Kata Asing

Sahabat, Sebuah Kata Asing

oleh : Patra Rina Dewi

Sahabat? Ah sungguh aneh. Kenapa orang memerlukan sahabat? Kenapa orang harus mengklasifikasikan sebuah pertemanan dengan kata "sahabat"? Bukankah punya banyak teman lebih menyenangkan?

Bertubi-tubi pertanyaan hinggap di kepalaku. Aku dibesarkan di lingkungan yang sangat keras di usiaku. Entahlah, aku memang merasa demikian. Masih sangat lekat di ingatanku ketika aku harus menempati rumah baru di sebuah tempat yang sangat asing. Sebuah tempat sepi, di dekat rawa yang dipenuhi biawak dan ular, bahkan terkadang monyet-monyet muncul dari tempat yang tak disangka-sangka. Kalaupun ada tetangga, jaraknya juga tak seperti kata "tetangga" menurut orang lain. Aku harus jalan sekitar tiga menit, baru aku temukan orang-orang yang layak disebut tetangga. Ada sih tetangga tepat di belakang rumahku tapi tetap saja rasanya aneh karena aku harus mutar ke belakang lewat semak-semak untuk sampai di rumahnya.

Waktu itu aku baru berumur lima tahun dan ingatanku masih sangat kuat mengenang kejadian demi kejadian. Aku hanya punya dua orang teman sebaya perempuan, selebihnya laki-laki. Jadilah kami (perempuan) menyesuaikan diri dengan prilaku laki-laki begitu juga dengan jenis permainan.

Aku begitu besar bersama anak-anak kampung. Kebersamaan kami yang hanya 10 orang (anak-anak kampung) membuatku tak pernah merasa kesepian. Jadi, ketika orang bertanya tentang sahabat, aku sama sekali tidak punya jawaban. Semuanya adalah sahabatku!

Sampai satu saat, di kelas 2 SMP aku merasakan ada sesuatu yang hilang. Di saat sahabat-sahabat masa kecilku tak lagi punya banyak waktu untuk bermain seperti dulu. Mereka punya kesibukan sendiri-sendiri atau sebagian dari mereka mulai malu untuk bermain bersama. Masa remaja yang tak mengenakkan. Di sekolah aku bisa tertawa sepuas-puasnya karena temanku sangat banyak dan sampai di rumah aku merasa begitu kesepian karena satu demi satu teman kecilku mulai tak terlihat.

Sahabat. Kata itu mulai terngiang kembali. Benarkah aku membutuhkan sahabat? Haruskah aku memilih salah seorang dari mereka untuk aku jadikan sahabat? Ah... mengapa dunia terasa jadi begitu rumit?

Tanpa aku sadari, pelan-pelan aku kehilangan rasa percaya diri. Aku yang anak kampung mulai kehilangan lingkungan. Berteman dengan anak-anak orang kaya di lingkungan sekolah justru membuatku merasa minder. Tak ada yang salah dengan mereka. Justru mereka sangat baik. Jika mereka dijemput dengan mobil, aku bisa ikut menumpang. Jika ada yang ulang tahun, aku selalu ditraktir. Tapi apa yang bisa aku perbuat untuk mereka? Makan saja aku harus bisa bersyukur dengan lauk yang seadanya, jajanku hanya cukup untuk mengganjal perut jika memang "harus" lapar.

Waktu terus berputar...

Entah bagaimana, (masih di kelas 2 SMP) aku bisa berkenalan dengan seorang pencandu narkoba. Tentu saja aku tidak mengetahuinya di awal pertemanan. Tiba-tiba aku sudah dihadapkan pada episode sakau demi sakau yang harus dijalaninya. Sebagai teman, aku harus merahasiakan ini dari orang lain karena tak ada seorangpun yang tau kalau dia adalah seorang pencandu. Kehilangan kasih sayang dalam keluarga telah menyeretnya pada dunia terlarang ini. Lalu, mengapa masa remajaku harus melewati masa seperti ini? Di saat orang lain bisa tertawa riang, aku harus menangis ketika melihatnya kesakitan.

Sedikit demi sedikit aku berusaha meyakinkannya bahwa kebahagiaan itu hanya milik orang-orang yang bisa menganggap ujian sebagai salah satu episode kehidupan yang harus dilalui, sama seperti ujian semester yang memberikan kita angka-angka dan ranking di kelas. Tapi sepertinya ini tidak mudah.

Kesabaranku hilang sudah! Di satu siang aku mengeluarkan ancaman, "Jika kamu tidak mau berhenti, aku akan ikut make!" sambil merampas jarum suntik yang baru saja dipakainya. Aku kehilangan cara. Aku putus asa.

Sampai akhirnya, aku harus menangis berkali-kali melihat usahanya untuk berhenti. Ah mengapa sakau begitu kejam? Ubun-ubunku serasa ikut tercabut setiap kali dia mengerang kesakitan hingga berkali-kali pula aku kalah, "Pake aja, ayo pake aja!" begitu bujukku setiap kali melihat dia menggeliat dan menggelepar menahan sakit. Tapi berkali-kali pula dia berkata, "Aku ingin buktikan bahwa aku lebih menyayangimu sebagai sahabatku daripada benda ini!"

Sahabat? ... Ah, akhirnya ada yang mengistimewakanku sebagai seorang sahabat hingga dia bersedia kesakitan berkali-kali hanya untuk membuatku bahagia? Katanya hanya aku yang bisa mengerti keadaan dirinya, hanya aku yang mau mendengar segala keluhan dan omelannya.. yang aku sendiri tak pernah menyadarinya.

Sejak saat itu, sahabat bukan lagi kata asing untukku. Enam bulan berjuang untuk tidak menggunakan segala yang berbau narkoba telah membuktikan bahwa dia telah menjadikan aku penting. Adakah orang di luar sana yang merasakan kebahagiaan seperti yang aku rasakan? Bola mataku selalu saja panas jika teringat pengorbanannya untukku.

Sahabat, dimanakah kau sekarang? Aku merindukan saat-saat kita bersama melewati masa sulit dan menyimpan bongkahan rahasia... hingga sekarang hanya Tuhan, kau dan aku yang tahu... Aku menyayangimu, dimanapun kau berada...

Tulisan ini diikutsertakan dalam LOMBA MENULIS TENTANG SAHABAT