Heboh tentang tindakan kekerasan di STPDN atau IPDN sebagai nama baru yang diharapkan bisa merubah budaya itu, sepertinya udah ga perlu dibahas lagi. Banyak hal yang menyebabkan “budaya” itu bertahan dan seakan tak pernah menemukan solusinya.
Aku hanya penasaran dan ingin membuat opini sendiri bahwa pelaku kekerasan di lembaga pendidikan tersebut bukanlah orang yang mempunyai motivasi kuat berada di
Sehubungan dengan itu, aku lebih tertarik untuk menulis tentang lulusan STPDN yang sama sekali tidak terkontaminasi dengan “virus” kejahatan di kampusnya. Dari berbagai talkshow atau kupasan lainnya di media elektronik, semua orang juga bisa tahu bahwa setiap siswa STPDN pasti pernah merasakan “penderitaan” atas usaha pencapaian cita-cita mereka. Tentunya, ada pemberontakan saat perlakuan itu mereka terima, ada harga diri yang merasa sangat dilecehkan karena boleh jadi selama ini mereka belum pernah mengalami hal tersebut di dalam hidup. Banyak dari mereka adalah anak yang menerima kasih sayang yang sempurna dari orang tua dan saudara-saudaranya. Pastinya banyak pikiran yang berkecamuk saat itu, “melakukan pembalasan” kepada siswa baru di tahun ajaran berikutnya mungkin menjadi salah satu dari sekian banyak “bisikan hati”.
O o.. ! Sama sekali aku takkan membuat itu menjadi sebuah pembenaran. Justru yang aku ingin kemukakan adalah : seseorang yang punya konsep diri yang baik takkan terbawa oleh situasi apapun yang tak dikendaki oleh kesejatiannya yang terikat dengan kesejatian dan keindahan Sang Khalik. Mungkin ga adil kalau aku bisa berkata ini hanya karena aku punya seorang teman lulusan STPDN yang sangat santun, simple dan sama sekali tak punya kesan arogan. Karena aku berkeyakinan kalau bukan hanya dia seorang! Banyak !!
Sayang seklai publik punya akses terbatas untuk mengetahuinya, tak ada publikasi khusus untuk ini. Sebagai outsider aku ingin memandang segala sesuatunya secara objektif.
Sama seperti yang lain, aku muak sekali mendengar cerita membangun kedisiplinan dengan jalan kekerasan. Tapi aku ga mau menambah panjang daftar kritikus dalam hal ini. Sangat tidak adil bagi siswa, orang tua, dan lulusan STPDN yang seharusnya punya kebanggaan atas prestasi yang telah diperoleh. Ekspose tentang “keburukan” kampus yang mereka cintai tentunya menorehkan rasa sedih yang tak mungkin mereka kemukakan karena memang tak ada stasiun televisi yang mau menayangkan. Dunia pun tahu bahwa “Bad news is good news” (for press).
Maka, mungkin solusinya adalah : seleksi penerimaan siswa baru harus lebih diperketat dengan adanya pengkajian motivasi dan emosional calon siswa hingga sanksi-sanksi yang dibangun dan diterapkanpun lebih mengedepankan perubahan prilaku melalui pendekatan emosional. Wallaahu a’lam.
Akhirnya aku ingin mengungkapkan rasa salutku kepada orang tua yang telah membekali anak-anak mereka dengan pendidikan, kecerdasan spiritual dan konsep diri yang kuat hingga sang anak tak menjadi oknum pelaku tindakan kekerasan tersebut. Rasa banggaku buat teman-teman lulusan STPDN/IPDN yang mampu menjadi abdi Negara yang santun dan rendah hati. Moga menjadi lebih baik di masa depan, mengedepankan ilmu dan tak lagi ada pengkhianatan dari “siswa” berupa pencorengan nama baik terhadap kampus mereka sendiri.
* Rasa geramku kepada dosen dan siapapun penentu kebijakan di kampus tersebut
18 comments:
amin...
Alhamdulilah dulu abi bisa lunak hati..sehingga akhirnya yudi g diluluskan kesana..
Amin....
enakan IPMI..aman adem ayem
oh, daripada2 masuk IPDN, mendingan masuk IPMP (Ikatan Penulis MultiPly)
Hai mbak patra menarik tulisannya. Tentang budaya kekerasan yang lekat : ini adalah suatu bukti dan efek bahwa bangsa indonesia dulu pernah di kolonisasi dan tidak mau tidak bisa melupakan .... maafkan aja masih berapa th sih merdekanya indonesia, sekarang di jajah ekonomi...
Niat : mereka tidak ada niat dan tidak mampu untuk mengganti system pendidikan.
Menurutku solusinya : lupakan masa jaman kolonisasi, lihatlah ke depan untuk generasi mendatang, jangan malas, gunakan HATI dan pikiran intektual.
Untuk jadi abdi negara tidak harus lewat sytem STPDN/IPDN yang toh dalam sidang MPR tidak di gunakan.
Dan sekarang bukan jaman perang berkelahi tapi sekarang jaman penjajahan politik ekonomi, gebuk-gebukan tidak di gunakan lagi.
Dokter,perawat, GURU, tokoh agama pun abdi negara.
Kalimat Penghkhiatan itu aku lebih puas kalo di ganti dengan MUNAFIK.
hé..hé..hé..karena kalo kata pengkhiatan jadi ingat jaman PKI kalo kata munafik kan lebih halussss.....kata pengkhiatan kayaknya emosi banget tapi kalo kata munafik mikirnya ke hati.
Tengkieu untuk idénya mas/mbak lafatah : IPMP ha..ha....
Memang semuanya kembali ke orangnya. Pejabat pemerintahan, tentara, dsb belum tentu ga bener semua. Kembali lagi, kalo saya melihat semuanya, dalam petikan, "kecuali .....(profesinya) yang beriman kepada Robbnya (memelihara hub. dengan Allah)"
Mengenai IPDN, gimanapun sistem harus dirubah, lingkaran kejahatan (kekerasan) akan melahirkan hal sama nantinya. Kembali lagi, kecuali para praja yang beriman kepada Robbnya.
baru tau sayah kalo ada Ikatan Penulis Multiply :D
engga seklaian aja bikin UPMP?
*Universitas Penulis Multiply* :D
Tiap orang punya perjalanan hidup sendiri. Tidak semua pelajar IPDN begitu dan sayang sekali potensi mereka jadi sia-sia karena sisi kelam nya lebih mengemuka. Kita doakan saja bisa lebih baik di masa yang akan datang...
Hihi... ini sah secara de yure apa de facto sih... ? ;-)
Wah say, munafik itu lebih gawat dibanding berkhianat lo...
Ciri2 orang munafik kan ada 3 :
1. Klo berkata dia dusta
2. Klo berjanji dia suka ingkar
3. Klo diamanahi, dia khianat.
Nah tu, khianat salah satunya... klo diganti kata munafik.. jadi tiga donk !
ya betul siswa yang berkhianat diatas itu masuk dalam jenis kemunafikan.
Benar, apapun profesi yang kita geluti... selagi kita ingat bahwa kita hadir di muka bumi ini dan menikmati segala yang ada... semua itu adalah karena Kuasa Sang Khalik. Insya Allah ini akan jadi "pegangan" untuk semua yang masih punya iman. Moga kita termasuk salah satunya. Kita doakan saja solusi yang diambil Presiden bisa mengatasi masalah di IPDN.Amin
IPDN=Institute Preman Dalam Negeri?
Ini adalah ke brutalan. Ini adalah cara-cara mendidik zaman purbakala, zaman dimana kekuatan & kekuasaan lbh utama dari kecerdasan otak.
Saya yakin para pemimpin dan pembina IPDN ngak jauh beda kelakuan & moral nya dg anak didik mereka yg suka dg kekerasan ala preman. Sebab dari pemimpin dan atau guru yg baik dan cerdas akan terlahir masyarakat dan anak didik yang baik dan cerdas juga.
Saya sangat setuju kita harus memerangi cara mendidik yang justru jauh dari unsur pendidikan, malah brutal.
Tapi maaf, saya tidak setuju kalau semuanya kena getahnya... karena tidak semua orang menjadi jahat di lingkungan yang jahat. Sekali lagi, di tempat jahat sekalipun masih ada orang yang beriman dan mereka itu akan tetap baik di lingkungan manapun berada. Setidaknya aku punya bukti itu ... ! Seorang teman yang sangat baik, tulus, tidak pernah berkata kasar dan benar-benar disukai masyarakat yang dipimpinnya. Dia lulusan STPDN ...
Terlalu berlebihan kalau akhirnya kita hanya bisa menghujat tanpa memberikan solusi atau memberikan perimbangan yang adil dalam menilai.
Sistem nya memang sangat jelek tapi tidak semua siswa atau dosennya jahat.. ! Saya juga yakin itu.
Saya tdk mengatakan semua orang di IPDN, pasti ada orang2 baik diantara kebejatan2 yg ada. Tapi masalahnya persoalan ini bukan baru ini terjadi di IPDN sdh ber-kali2. Kalau anda lihat tayangan di SCTV betapa para senior siswa IPDN melakukan kebrutalan thdp yunior nya dg meninju dan menendang tanpa batasan kemanusian shg menimbulkan kematian maka wajar saja cercaan datang dari masyarakat, sbb begitukah cara para calon abdi negara ???
Tuntutan masyarakat malah minta agar IPDN di bubarkan sbb IPDN hampir2 ngak ada faedahnya, selain menghabiskan uang negara. Apakah dg adanya IPDN lantas mutu dan moral pegawai pemerintahan menjadi semakin bagus??? Tidak juga.
Solusinya:
1. Kalau memang IPDN tdk mampu menaikkan mutu dan moral pegawai negeri menjadi lbh baik, maka sebaik nya di bubarkan.
2. Atau diadakan reformasi besar2an. Rektor, dosen, pembina yg tdk becus menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya di ganti atau bila perlu dipecat. Kurikulum IPDN hrs dirombak secara mendasar agar bisa menghasil pegawai pemerintahan yg berkualitas dan bermoral serta berakhlak mulia.
Ya, mas Alam
Saya sangat memahami perasaan yang berkecamuk di hati siapapun melihat tayangan tersebut. Saya juga geram sekali!
Jika kekerasan tersebut terjadi penjara saja hati kita sudah sedemikian menolak, apalagi kalau terjadinya di kampus yang akan mendidik calon pemimpin.
Memang pelaku2nya tidak berprikemanusiaan atau malah sudah kehilangan hati nurani sama sekali. Begitu juga dengan pengambil kebijakan di kampus tersebut yang tak melakukan tindakan tegas untuk mengantisipasi agar kejadian tersebut tak terulang kembali.
Benar-benar mengesalkan !!
Itu sisi kegeraman yang ada.
Namun di sisi lain, saya cukup empati dengan perasaan lulusan, siswa dan orang tua yang sama sekali tidak terkontaminasi dengan suasana IPDN.
Maksudnya mereka yang tetap lurus pada niat awal .. untuk menjalani pendidikan sebaik-baiknya dan melewati masa-masa sulit dan tidak menjadi bagian dari "kejahatan" tersebut.
Mereka pun menentang tindakan kekerasan tersebut tapi tidak pernah mendapat tanggapan.
So... kita di sisi yang sama mas Alam :-)
Agreeeeeeeeeee.......... !!
Pantang berkhianat buat seorang muslim :-)
Lagi pengen buka tulisan ini lagi. Soalnya barusan aku ketemu satu orang lagi lulusan STPDN yang baik dan bersahaja. Akhirnya cerita tentang kampusnya kembali hadir. Dia bilang OKNUM pelaku tindak kekerasan itu telah melukai banyak pihak, terutama praja yang sama sekali tidak pernah berbuat hal negatif.
Ah, kenapa tidak ada yang menyuarakan secuil kebaikan yang ada di lembaga tersebut ?
Post a Comment