Thursday, April 19, 2007

Pak Wo yang tulus

Setelah penat beraktifitas, becak jadi sarana transportasi yang sangat berarti buatku. Hingga di suatu senja hujan turun dengan derasnya. Diantar becak sampai depan pagar rumah tak lazim aku lakukan karena jalan menuju rumahku sangat jelek, tidak rata, banyak polisi tidur dan ada tanjakan sebelum melewati jembatan penghubung antara rumahku dengan perumahan di seberang kali. Untuk itu, aku lebih memilih untuk berhenti di gang yang berjarak kira-kira 30 m dari rumah. Tapi saat itu tak ada pilihan lain, hujan terlalu deras untuk ditempuh dan aku ga bawa payung atau mantel hujan, hingga aku minta diantar tepat sampai di depan pagar rumah. Karena jasanya, aku bayar melebihi ongkos seharusnya disertai ucapan terimakasih.


 


Di minggu lain, aku kembali menumpang becak seperti biasa. Waktu aku bilang “Udah, di sini aja Pak.” Eh bapak itu malah jawab “Kan masih jauh, nanti aja berhentinya dekat jembatan”. Aku baru sadar kalau bapak itu juga yang telah mengantarku ketika hujan deras minggu lalu. Ah, benar-benar ga tega melihat tubuh tuanya nan ringkih mendayung becak di jalan tak rata tersebut tapi dia tak menyerah. Tepat di dekat jembatan kayuhannya berhenti. Lagi, kubayar lebih dari harga seharusnya.


Suatu kali muncul pikiran nakalku. Apa mungkin dia mengantarku karena bayaran yang aku berikan? Hingga kuputuskan untuk membayar sesuai dengan ongkos seharusnya.


 


Subhanallaah…. Aku begitu terharu ketika hari-hari selanjutnya bapak tetap berkeras membawaku sampai ke tepian jembatan. Hingga akhirnya aku berkata, “Pak, jalannya sangat sulit untuk dilalui, nanti kalau hujan saya akan minta tolong bapak lagi untuk mengantar sampai depan pagar tapi kalau cuaca cerah begini, turunkan saya di depan gang aja.” Kemudian si bapak menjawab “Dulu saya sangka rumahmu memang di depan gang itu tapi ternyata masih jauh ke dalam. Saya merasa belum menyempurnakan pekerjaan jika tidak mengantar sampai tujuan.”


 


Tenggorokanku terasa tercekat. Betapa mulia hatinya, dalam kepenatan dia masih berusaha menyempunakan amalannya. “Panggil saja Pak Wo” begitu jawabnya ketika kutanya siapa namanya. Mungkin buat orang lain, Pak Wo bukan siapa-siapa tapi buatku dia seorang guru yang sangat istimewa.


 


Hanya sekedar berbagi pelajaran hidup yang mahal dari seorang penarik becak sederhana tentang arti “pengabdian” sesungguhnya, hanya kepada Allah yang menyukai orang-orang yang menyempurnakan amalannya. Wallaahu a’lam.


 


* Terimakasih Pak Wo, darimu aku belajar ketulusan

9 comments:

ratu karitasurya said...

Subhanallah...salute untuk Pak Wo..di saat banyak orang yang bekerja dan beramal setengah hati, namun Pak Wo mengajarkan kita menyempurnakannya...TFS yah Un!

nura hendra said...

Thanks sharingnya mbak .... jadi bisa belajar dari pak Wo juga.....

d'Amyja Songyanan said...

harusnya dipotret Ni, Pak Wo nya...kadang2...kita masih kalah dalam berprasangka terhadapa orang lain ya ni...

*beautiful sky said...

bagus say!

Popon Kurniasih said...

jadi pengen liat pa Wo deh ni...beneran potret ni (setuju usul ajeng, hehe!) kalimat terakhirnya bener2 bikin meringis..sempurnakan pekerjaan kita...huhuhu...jadi malu ma diri sendiri nih. Pengabdianku belum ada apa-apanya,hikss...

Stalis Armando Rodado said...

Hidup pak Wo, bikin adem ya...

patra rina said...

Halo teman-teman,
ntar dibalas commentnya ya
pak Wo nya juga ntar dijepret
ya, tulus banget beliau
subhanallah...
aku mau pergi aqiqah putri teman dulu nih..
miss u all

patra rina said...

Iya.. Pak Wo yang udah tua dan seharusnya udah lelah bekerja .. tapi tetap never complain
jadi malu ... :-)

patra rina said...

sama-sama..
moga Pak Wo disayangi Allah
amin