Camar dan Mayar

Tiba-tiba secarik kertas melayang di depanku. Hanya sebuah sobekan kecil. Ah, paling juga seniorku itu iseng kayak teman-teman lainya coz aku juga hobi ngisengin mereka sih. Tapi disertai suara "Baca dek!", pelan tapi tegas. Udah, dia berlalu gitu aja. Hmm.. ada apa ya?

Di kertas itu tertulis sebait puisi :

Berhentilah menjadi camar

yang sesekali memecah buih

kemudian terbang lagi

Jadilah mayar

yang dengan anggun menata sarang

Lamat-lamat aku bertanya dalam hati "Apa pesan yang ingin disampaikan Kakakku ya ? Apa kesalahan yang udah aku perbuat?"

Kakakku itu memang hobi bikin puisi tapi kali ini serasa ada yang lain. Ada teguran untukku, aku tahu itu.. tapi tentang apa ?

Penasaran kucari sosoknya yang ternyata tengah nongkrong di plaza, tempat kami ngumpul waktu istirahat kuliah. Tanpa bisa nyembunyiin rasa penasaran, aku buru jawabannya.

Aku kaget ketika dengan tenang dia berkata, "Pat, kamu nyadar ga ada beberapa hati yang terluka karena kamu begitu peduli sama mereka eh tapi hanya sebatas itu, sementara di hati mereka tumbuh perasaan lain yang kamu ga pernah tahu. Udah gitu, mereka nyadar perhatian kamu ga istimewa karena kamu merhatiin yang lain sama seperti itu juga. Perih buat mereka, de"

Begitukah ? Aku ga pernah tahu karena aku ga pernah berniat dan menyadari kalau aku telah menjadi camar yang sesekali menerpa buih dan meninggalkan perih. Kalaupun aku menjadi camar, aku takkan pernah ingin melukai buih, kan kulabuhkan kakiku di karang tegar.

Menjadi mayar ? Betapa inginnya aku.. tapi adakah mayar lain yang bersedia menemaniku? Karena terbangku masih akan sangat jauh...

Semoga...

Sobekan kertas berisi puisi itu tak pernah kusimpan ... Sekarang jadi ingat lagi karena setiap kali kata-kata camar mampir di telinga, aku akan selalu ingat nasehat itu.