Ketika mendampingi tim peneliti Jepang ke Bengkulu, akulah satu-satunya wanita anggota tim. Buat aku sih asik-asik aja karena dari remaja aku udah sangat dipercaya oleh orang tuaku untuk melakukan kegiatan apapun asalkan positif. Mereka sangat percaya karena aku pun mampu menjaga kepercayaan mereka. Buatku, setiap "momen" bisa menghasilkan sejuta ilmu
Di tengah perjalanan, bapak-bapak yang berasal dari sebuah universitas terkemuka di Sumatera Barat masuk pada sebuah percakapan, kira-kira begini :
H : "Kita harus menyiapkan kader nih agar Indonesia juga punya ahli Tsunami seperti Jepang. Nanti kita buat MoU dengan Universitas Tohuku."
F : "Iya, saya setuju. Siapa ya kira-kira ?"
M : "Gimana klo si R?'
H : "Wah jangan, dia terlalu lamban, malu kita sama Jepang nanti"
Mereka silih berganti mengkaji satu persatu calon yang diajukan, tapi masih saja belum memenuhi kriteria yang diinginkan. Akhirnya aku ikut bersuara karena salah satu tamatan Universitas tersebut menjadi relawan di LSM yang aku pimpin dan aku tahu sekali kemampuannya.
Aku : "Bagaimana klo si Mimi aja Pak?" (bukan nama sebenarnya)
serentak mereka menjawab (tiga orang bapak-bapak)
"Sedapatnya jangan wanita deh... " Gitu kira-kira koor mereka.
H : "Bukannya mau mengangkat isu gender Pat, tapi memang wanita itu banyak susahnya. Nanti diminta ngerjain ini itu pasti banyak aja alasannya, yang ga dibolehin suamilah, yang harus ngurusin anaklah, yang mau ke rumah mertua lah... Jarang sekali menemukan wanita yang berdedikasi pada tugasnya"
F : "Iya, istri saya aja contohnya. Walaupun saya sangat mendukung aktifitas dia tapi dianya yang engga mau, katanya ga tega ninggalin anak"
H : "Istri saya juga begitu, padahal dulu yang saya kagumi dari dia adalah kegesitan dan kreatifitasnya, dia aktifis tapi sekarang dia berubah menjadi orang rumahan"
Nah lo, tanpa diminta bapak-bapak tersebut curhat tentang istri-istri mereka. Mungkin mereka tahu klo aku bakal menyela "Emang bapak ngizinin istri bapak aktif di luar rumah?" tapi urung karena tanpa ditanya mereka udah menjelaskan.
Intinya buat aku adalah aku sama sekali tidak akan memihak kaumku yang masih berjuang untuk mendapatkan KESETARAAN GENDER. Apa sih sebenarnya yang dituntut? Nyata-nyata kita sama laki-laki itu berbeda! Yakin deh, kalau kita kaum wanita bisa mempunyai dedikasi yang tinggi tanpa harus menjadikan keluarga sebagai alasan untuk bersembunyi dari tanggungjawab yang diemban, aku yakin bahwa KESEMPATAN ITU BANYAK! Ga usah dicari! Orang-orang pasti akan menyerahkan amanah itu kepada kita tanpa ragu. Namun sekali lagi, MAMPUKAH KITA ?
Ah, sepertinya tidak.. karena fitrah dan kodrat yang berbeda. Mau menstruasi aja wanita bisa uring-uringan dan tidak produktif. Sederhananya aku mau bilang "Ya sudahlah.... wanita dan laki-laki itu sudah ada porsinya masing-masing". Banyak kok wanita yang sukses karena mampu menunjukkan potensi dirinya, bermanfaat untuk keluarga dan berdaya guna untuk masyarakat. Tentu saja indikator keberhasilannya adalah tidak ada hak-hak orang lain yang terabaikan, baik itu keluarga, teman-teman di tempat kerja ataupun lingkungan sosial lainnya.
SANGGUP? Buktikan saja !
Tapi kalau ga sanggup, jadi ibu rumah tangga tulen lebih istimewa lho jika dijalankan dengan ikhlas.