Walau hujan turun dan becek dimana-mana tapi tetap aja yang namanya pasar ga pernah sepi. Dalam kehati-hatian menapaki gerimis, aku berpapasan dengan dosenku dulu. Seorang Profesor terpandang di kotaku, yang menyandang gelar Doktor sebuah universitas terkemuka di Eropa. Di kedua tangannya ada tentengan belanjaan dan sepertinya beliau sudah selesai berbelanja.
“Udah selesai belanja Pak?”, sapaku.
“Sudah” sahutnya sambil memperlihatkan dua tentengan belanjaan yang cukup besar.
“Salam buat ibu ya Pak.”
”Iya, nanti saya sampaikan. Assalaamu’alaikum.”Jawabnya sambil melempar senyum.
”Wa’alaikumussalam.”
“Mmh… seorang Profesor terpandang belanja di pasar tradisional sendirian?” Sungguh kondisi seperti ini sangat langka di kulturku yang terlanjur memposisikan belanja ke pasar sebagai pekerjaan yang tak lazim dilakukan oleh kaum adam dan mungkin juga keadaan ini berlaku buat daerah-daerah lain di Indonesia. Aku ga tahu. Pikiranku tergelitik, ”Masih ada ga ya stok laki-laki seperti itu di zaman sekarang ini?” (sebelum diprotes, aku jawab sendiri.... Pasti ada! tapi mungkin bisa dikatakan sebagai kaum minoritas).
Setelah menikah, entah dari mana asal muasalnya akan ada pembagian kerja antara suami dan istri. Suami akan berdalih bahwa dia telah cukup sibuk dan cape mencari nafkah di luaran sehingga kerjaan rumah bukan lagi jadi urusannya termasuk pendidikan anak. Mungkin masih wajar kalau hal ini diutarakan oleh seorang suami yang memang pontang-panting dan sudah bisa memenuhi nafkah buat keluarganya dengan penuh tanggung jawab tapi buat suami yang nyata-nyata masih butuh bantuan istri buat mencukupi kebutuhan keluarganya? Jelas ga bisa diterima donk! Toh ga ada perbedaan jam kantor buat laki-laki dan perempuan. Berarti, dua-duanya sama-sama cape kan? (Pernyataan ini ditujukan khusus kepada suami yang memelas minta bantuan istri untuk ikut membantu keuangan keluarga tapi malas banget ketika dimintai tolong untuk membantu pekerjaan rumah tangga).
Ga rumit sih sebenarnya karena aku pernah baca dan sangat yakin (haqul yaqin) bahwa Rasulullah ga mau membebani istri dengan pekerjaan yang masih bisa beliau kerjakan sendiri. Rasulullah pernah kok ngejahit baju sendiri dan juga menumbuk gandum untuk membuat roti padahal Rasulullah kan nyari nafkah juga buat keluarga, bahkan perjuangan beliau lebih berat lagi (Sst... Bukankah Rasulullah lebih mulia dan terpandang dibanding seorang Profesor?). Lalu, pikiran siapa yang sedang dikembangkan saat ini kalau suami tidak seharusnya nyuci dan belanja ke pasar?
Bukan berarti juga istri akhirnya punya alasan untuk ga peduli ama urusan rumah tangga. Siti Khadijah bukan hanya bikinin makanan lo buat Rasulullah tapi juga mendaki gua Hira’ buat nganterin makanan. Jarak dari rumah beliau sampai gua hira’ itu empat jam jalan kaki bolak-balik di terik matahari dan tajamnya bebatuan. Yang sudah pernah ke tanah suci pasti bisa ngebayangin kondisinya. Semoga kita juga bisa begitu. Amin.
Maaf sobat, aku hanya sedang mengagumi suami – istri yang tak sekedar menagih hak atas fitrahnya tapi menunaikan kewajibannya atas landasan ibadah kepada Allah.
Mungkin dosenku bisa seperti itu karena memang orang tuanya telah mengajarkan arti empati semenjak beliau masih kecil. Wallaahu a’lam.
Dalam kesederhanaan, aku bersyukur karena papaku bisa menjadi partner kerja yang mengasyikkan buatku dan mama di dapur, terutama untuk pekerjaan yang akrab dengan kekotoran seperti membersihkan dan memotong ikan atau ayam yang hasil dari pekarangan sendiri. Bahkan masih kuingat, dulu ketika mama pergi ke luar kota dalam waktu yang agak lama, papa tuh yang masak buat kami anak-anaknya. Terimakasih Allah.
Terimakasih kepada papa mama yang tlah membagi jadwal piket yang adil antara aku dan adik-adik dengan jenis kegiatan yang sama.
special to : setiap pasangan yang saling menghargai dalam usaha menggapai surga-Nya.