Heboh tentang tindakan kekerasan di STPDN atau IPDN sebagai nama baru yang diharapkan bisa merubah budaya itu, sepertinya udah ga perlu dibahas lagi. Banyak hal yang menyebabkan “budaya” itu bertahan dan seakan tak pernah menemukan solusinya.
Aku hanya penasaran dan ingin membuat opini sendiri bahwa pelaku kekerasan di lembaga pendidikan tersebut bukanlah orang yang mempunyai motivasi kuat berada di sana. Logikanya, jika seseorang punya niat sungguh-sungguh untuk melakukan sesuatu maka apapun yang berhubungan dengan “sesuatu” itupun akan menjadi kesenangannya yang berefek bisa membahagiakan lingkungan sekitarnya. Seyogyanya dia bercita-cita untuk melakukan dan menjadi yang terbaik, memberi kebanggaan kepada orang tua dan penghargaan untuk diri sendiri. Begitu banyak list kebaikan yang dibawa oleh kata sederhana bernama “niat”. Yang menjadikan kata ini masuk akal untuk selalu menjadi bagian pertama dari setiap rukun ibadah bagi seorang muslim. “Innamal a’malu bin niat”. Takkan ada satu sanggahan pastinya untuk ini. Niat adalah hasil komunikasi hati dan pikiran –dua piranti istimewa yang diberikan Allah hanya untuk makhluk yang bernama manusia.
Sehubungan dengan itu, aku lebih tertarik untuk menulis tentang lulusan STPDN yang sama sekali tidak terkontaminasi dengan “virus” kejahatan di kampusnya. Dari berbagai talkshow atau kupasan lainnya di media elektronik, semua orang juga bisa tahu bahwa setiap siswa STPDN pasti pernah merasakan “penderitaan” atas usaha pencapaian cita-cita mereka. Tentunya, ada pemberontakan saat perlakuan itu mereka terima, ada harga diri yang merasa sangat dilecehkan karena boleh jadi selama ini mereka belum pernah mengalami hal tersebut di dalam hidup. Banyak dari mereka adalah anak yang menerima kasih sayang yang sempurna dari orang tua dan saudara-saudaranya. Pastinya banyak pikiran yang berkecamuk saat itu, “melakukan pembalasan” kepada siswa baru di tahun ajaran berikutnya mungkin menjadi salah satu dari sekian banyak “bisikan hati”.
O o.. ! Sama sekali aku takkan membuat itu menjadi sebuah pembenaran. Justru yang aku ingin kemukakan adalah : seseorang yang punya konsep diri yang baik takkan terbawa oleh situasi apapun yang tak dikendaki oleh kesejatiannya yang terikat dengan kesejatian dan keindahan Sang Khalik. Mungkin ga adil kalau aku bisa berkata ini hanya karena aku punya seorang teman lulusan STPDN yang sangat santun, simple dan sama sekali tak punya kesan arogan. Karena aku berkeyakinan kalau bukan hanya dia seorang! Banyak !!
Sayang seklai publik punya akses terbatas untuk mengetahuinya, tak ada publikasi khusus untuk ini. Sebagai outsider aku ingin memandang segala sesuatunya secara objektif.
Sama seperti yang lain, aku muak sekali mendengar cerita membangun kedisiplinan dengan jalan kekerasan. Tapi aku ga mau menambah panjang daftar kritikus dalam hal ini. Sangat tidak adil bagi siswa, orang tua, dan lulusan STPDN yang seharusnya punya kebanggaan atas prestasi yang telah diperoleh. Ekspose tentang “keburukan” kampus yang mereka cintai tentunya menorehkan rasa sedih yang tak mungkin mereka kemukakan karena memang tak ada stasiun televisi yang mau menayangkan. Dunia pun tahu bahwa “Bad news is good news” (for press).
Maka, mungkin solusinya adalah : seleksi penerimaan siswa baru harus lebih diperketat dengan adanya pengkajian motivasi dan emosional calon siswa hingga sanksi-sanksi yang dibangun dan diterapkanpun lebih mengedepankan perubahan prilaku melalui pendekatan emosional. Wallaahu a’lam.
Akhirnya aku ingin mengungkapkan rasa salutku kepada orang tua yang telah membekali anak-anak mereka dengan pendidikan, kecerdasan spiritual dan konsep diri yang kuat hingga sang anak tak menjadi oknum pelaku tindakan kekerasan tersebut. Rasa banggaku buat teman-teman lulusan STPDN/IPDN yang mampu menjadi abdi Negara yang santun dan rendah hati. Moga menjadi lebih baik di masa depan, mengedepankan ilmu dan tak lagi ada pengkhianatan dari “siswa” berupa pencorengan nama baik terhadap kampus mereka sendiri.
* Rasa geramku kepada dosen dan siapapun penentu kebijakan di kampus tersebut