Aku ga menemukan judul yang lebih pas mewakili kata hati yang ingin aku tuliskan. Untuk ke sekian kalinya kisah polygami hadir mengisi memori dan hatiku. Kali ini ada rasa yang tak bisa diungkapkan karena torehan dukanya sangat dalam terhadap orang yang aku sayangi, syaraf-syaraf ku pun merespon hingga aku harus mengakui bahwa aku teramat sedih. Bukan berarti aku mengingkari bahwa polygami itu dibolehkan karena memang ada firman Allah yang menyatakan demikian. Ungkapan klasik yang mau ga mau harus diakui dan dicarikan solusinya dengan adil “Wanita mana sih yang rela suaminya menikah lagi?”. Hal ini pula yang menyebabkan imbalan berupa sorga bagi isteri yang ikhlas menjadi sangat masuk akal karena ujian berbagi cinta pastinya menjadi ujian terberat bagi seorang isteri. Bahkan rumah tanggal Rasulullah pernah mengalami gejolak karena satu kata “cemburu”.
Aku tak bisa mendalami sejauh mana rasa sakit itu menghampiri perasaan seorang isteri karena aku tidak pernah berada dalam kondisi tersebut. Namun di setiap curhat ummahat sebelum ataupun sesudah suami mereka menikah lagi, aku ikut larut dalam setiap bulir air mata mereka. Tangis itu tidak semuanya melukiskan kecengengan, di antaranya menangis karena mereka belum mampu setabah dan setegar Siti Aisyah atau Siti Hajar. Mereka takut kalau tidak punya kesempatan yang banyak menuju gerbang sorga karena kecemburuan dan kemarahan pada sang suami. Buat mereka, selama ini suami atau lebih tepatnya keluarga adalah ladang untuk menuai pahala. Sejak ijab
Di hari yang lain, seorang ukhti berbagi cerita denganku bahwa ayahnya ternyata punya isteri yang lain selain ibunya sejak 10 tahun yang lalu. Sang ibu baru mengetahui seminggu ini, itupun karena si isteri kedua datang ke rumah memperkenalkan diri dan curhat karena sang suami tak lagi menafkahi keluarga. Kalau tak berada dalam keadaan terpepet, dia sama sekali takkan pernah datang ke rumah itu karena dia tak mau mengganggu ketentraman keluarga yang telah dahulu dibina oleh sang suami. Ukhti tersebut sangat berbesar hati. Dia tidak marah pada ayahnya karena dia sama sekali tak pernah kehilangan sosok sang ayah, justru dia kasihan pada ibu kedua-nya karena kesabarannya untuk “dinomorduakan” selama 10 tahun. Buktinya, tak ada yang pernah tahu selama kurun waktu tersebut bahkan gelagat mencurigakan atau bisik-bisik tetanggapun tak pernah mereka dengar. Namun, dia tak mampu untuk meyakinkan ibunya bahwa keluarga mereka akan baik-baik saja karena selama ini pun sang bapak tidak mengurangi sedikitpun kadar cintanya. Tapi luka itu tak mau pergi… Ukhti itu ingin sekali memperlakukan ibu kedua-nya selayaknya memperlakukan seorang ibu namun dia tak mau menyakiti ibu kandungnya bahkan lebih sedih lagi karena dia belum berhasil untuk membujuk ibunya agar tak mengajukan gugatan cerai kepada ayah yang sangat dicintainya.
Apakah sakit hati, marah dan benci memang menjadi bagian dari perangkat CINTA ? Entahlah, aku berusaha sekuat tenaga untuk menyangkalnya karena yang aku tahu CINTA itu adalah sumber kebahagiaan dan jika marah, benci dan sakit hati mulai mendominasi perasaan maka pastilah kedudukan cinta itu telah bergeser. Apapun penjabaran dan alasannya, takut kehilangan cinta menjadi alasan yang rasional dan manusiawi. Bukankah sebelum seseorang memutuskan untuk menikah, dia telah berjuang cukup banyak menemukan “cinta” nya dengan ikhtiar, sujud yang dalam dan doa-doa panjang karena cinta akan membuatnya mampu mereguk banyak pahala sebagai kunci menuju sorga? Setelah doa dikabulkan, tak peduli harus bernaung di kontrakan kecil, pindah kontrakan beberapa kali, makan seadanya, berhenti bekerja, bahkan meninggalkan segala kemewahan yang selama ini dipunya hanya untuk alasan cinta dan pengabdian, karena sadar bahwa tujuan pernikahan adalah untuk menggenapkan dien. Hingga, tak sedikit isteri yang mampu mengantar suaminya menuju jenjang kesuksesan, dilimpahi banyak rezki dan kebanggaan. Sangat wajar bukan jika duka itu menyeruak di saat mengetahui suami berbagi cinta atau jatuh cinta lagi ?
Maaf sahabat, aku menulis ini dalam keadaan yang sangat emosional. Hal ini jadi catatan penting buatku, ternyata aku masih jauh dari kadar seorang muslimah yang mampu memahami hakikat polygami. Saat ini, bukan aku yang mengalami tapi hatiku sudah protes demikian hebat. Maka, aku menyatakan penghargaan dan kekaguman yang tinggi kepada isteri-isteri yang tetap setia dan suami-suami yang adil dalam melajukan biduk rumah tangganya yang akan mudah sekali oleng bila irama kayuhnya tak sama.
* Aku malu ya Rabb, ujian yang Kau berikan padaku tak sehebat ujian yang Kau berikan pada mereka namun keluh kesahku lebih banyak dibanding doa yang mereka untai. Lindungi aku dari perbuatan zhalim kepada makhluk-Mu. Amin.