Sunday, June 3, 2012

Memaafkan "pengkhianatan"

Dalam setahun ini aku mendapatkan tiga cerita tentang "pengkhianatan".

Pertama,
Seorang isteri merasa dikhianati suaminya saat dia hamil berat. Suami menikah siri dengan seorang wanita yang tak pernah dikenal sebelumnya. Kepercayaan yang selama ini dititipkan terkoyak begitu saja dan sulit untuk dipulihkan. Sang suami bertahan tidak mau meninggalkan isteri keduanya sebagai syarat yang diajukan. Pilihan pilih aku atau dia ternyata tidak mempan dengan alasan : tanggungjawab terhadap kedua isteri sekarang sama! Untuk menggugat cerai pun tak mungkin karena hukum sosial belum tentu berpihak pada seorang "janda", sementara jika tetap bertahan hati serasa disayat-sayat sembilu setiap kali suami minta izin untuk menemui isteri keduanya.

Akhirnya si isteri memberikan pernyataan yang sangat tegas "Jangan temui perempuan itu lagi jika rumah tangga kita masih ingin dipertahankan." Dan suami sepertinya menuruti .. walaupun tetap tidak bersedia menceraikan. Si isteri dengan tegas menyatakan "Kalau ketahuan menemui dia lagi, aku tidak bisa memaafkan dan hidup bersamamu lagi. Kita pisah!" Alhamdulillah dengan ultimatum ini, rumah tangga mereka masih bisa dipertahankan. Walaupun sang isteri mengatakan "Sulit sekali melupakan pengkhianatannya tapi kebaikannya begitu banyak. Dia hanya khilaf."

Kedua,
Seorang isteri mungkin tidak dikhianati secara langsung oleh suaminya karena memang tidak ada bukti ke arah sana. Si isteri hanya menemukan sms-sms mesra dari seorang perempuan yang terbaca jelas melalui layar HP si suami. Sementara sms suami tak satupun bernada mesra tapi membalas setiap sms yang datang dari sang wanita. Sms balasan itu menyiratkan bahwa sang suami memberi ruang agar si wanita bisa masuk ke dialog yang lebih pribadi. Mau tidak mau, sang suami berkontribusi terhadap dalamnya perasaan si wanita tersebut. Dengan logikanya yang masih bisa dikendalikan, isteri meminta kejujuran suami. Sang suami berkata bahwa dia tidak punya perasaan apa-apa, sms-sms itu hanya untuk menghargai wanita itu sebagai rekan kerja.

Isteri akhirnya membuat ketegasan, "Aku hanya ingin mempertahankan rumah tangga kita jika kamu juga ingin mempertahankan. Jika kamu sudah tidak sayang lagi sama aku, bilang baik-baik. Aku memilih untuk tidak lagi bersamamu karena hati tidak bisa dipaksakan." Rumah tangga mereka juga berhasil dipertahankan karena mereka berdua saling introspeksi diri dan memperbaiki cara berkomunikasi, lebih berupaya mendalami apa yang disukai dan apa yang tak disukai pasangan.

Ketiga,
Hubungan rumah tangga yang dibina sudah lebih dari lima belas tahun. Dulu suami yang "mengejar-ngejar" sehingga wanita yang sekarang bertitel "isteri" itu luluh. Suami termasuk laki-laki yang tak pernah neko-neko. Sang isteri cerdas dan cantik. Anak-anak juga sama, perpaduan orang tua yang serasi. Tiba-tiba rumah tangga terusik ketika suami mengakui telah menikah siri dengan seorang wanita. Pernikahan itu telah berlangsung lebih dari satu tahun. Rasa sakit tak terperikan. Kesetiaan terenggut begitu saja karena jarak yang memisahkan. Lebih sakit lagi, ketika disuruh memilih sang suami lebih memilih untuk pergi bersama isteri keduanya, meninggalkan dirinya dan anak-anaknya.

Isteri memilih pasrah dan menerima keadaan dengan mengumpulkan segenap kesabaran. Memilih untuk tetap mempertahankan rumah tangga dan menerima kehadiran "mitra" baru dalam rumah tangga mereka.

Ketiga isteri ini adalah isteri yang kuat hatinya walaupun keputusan yang mereka ambil tidak sama. Ketiganya memaafkan orang yang paling dicintainya dengan cara mereka masing-masing.

Aku tak tahu hikmah lainnya.
Begitu sulitkah mempertahankan kesetiaan bagi seorang laki-laki ?
Benarkah kebolehan untuk berpoligami membuat wanita tak berkutik karena dengan berlatar belakang ayat tersebut pengkhianatan dianggap tak ada ? hmmm....


*midnite 4 Juni 2012*