Thursday, November 19, 2009

Akhir Cerita Cinta

"Kak, aku single parent sekarang"
Begitu message yang kutemukan di inbox ku dari seorang yang karena usianya lebih muda kusebut Adik.

Aku sama sekali tidak kaget, perasaan ini rasanya begitu datar menerima pesan itu. Yah, aku sudah memperkirakan hal ini terjadi sejak mereka masih dalam taraf penjajakan. Bahkan aku bisa dikatakan orang yang tidak menyetujui keputusan mereka untuk menikah.

Pikiranku melayang pada masa 6 tahun lalu. Takdir mempertemukanku dengan seorang pria yang akhirnya kuanggap sebagai adik. Kedekatan kami membuatnya nyaman berada di dekatku. Katanya baru aku yang benar-benar memperhatikan dia, menyayanginya dan mengerti apa yang dia mau.

Bagiku, diapun adalah adik yang sangat baik, penurut, perhatian.. dan sedikit manja. Masa lalu nya sangat menyentuh perasaanku terdalam, bahkan di masa 6 tahun itu lalu pun menurutku kehidupannya juga tidak seperti kehidupan kebanyakan orang-orang normal. Orang tuanya tidak menyayanginya, cenderung mengucilkan dirinya dengan terus-terusan membandingkan dengan dua adiknya. Dia sama sekali tidak merasa dipedulikan. Sewaktu kecil, dia sering menerima penyiksaan dari ayahnya. Merinding jika kuingat lagi penuturannya. Mau tidak mau rasa ingin melindungi muncul secara alamiah dari diriku. Setidaknya, jika aku mampu memberikan kasih sayang yang aku punya kenapa tidak?

Dia jadi bersemangat hidup, bersemangat kuliah dan memperlakukanku sebagai seorang kakak yang dia sayangi. Tidak ada ruginya.

Sampai suatu saat dia memperkenalkanku pada calon istrinya. Di sini persoalan baru muncul. Adik yang selama ini di mataku sangat lembut dan sopan... dan memang begitu adanya (kepadaku.... bahkan sampai saat ini) ternyata suka "menyiksa" calon istrinya. Seringkali jika mereka bertengkar, aku yang menengahi. Suatu hari aku menyadari bahwa aku telah terlalu jauh memasuki kehidupan mereka sehingga aku mulai kehilangan kemerdekaan hingga perlahan aku pun menjaga jarak.
Ah ternyata itu berefek negatif. Dia jadi tidak semangat kuliah, tidak masuk kerja bahkan sampai mogok makan. "Ya Allah.. apa yang sudah aku perbuat?"

Hingga akhirnya.... dalam sebuah kesempatan ku katakan pada calon istrinya "Jangan dilanjutkan hubungan kalian. Tidak akan pernah berakhir dengan baik. Jika sekarang sudah sering diwarnai pertengkaran sampai akhirnya menyakiti secara fisik, sampai kapanpun hubungan itu takkan pernah bisa baik."

Tapi lagi-lagi keputusan akhir ada di tangan mereka. Mereka menikah!

Dan seminggu yang lalu kuterima pesan itu dari mantan istrinya "Kak, aku single parent sekarang".

Aku hanya tidak habis pikir, mengapa cinta bisa membutakan mata hati seseorang? Kenapa menunggu enam tahun ? Kenapa tidak mengambil keputusan sebelum pernikahan itu terjadi?

Ah...... entahlah...



Monday, November 9, 2009

Prihatin Sama Kaum Sendiri

Tulisan ini hanya sekedar curhat. Yang merasa tersinggung .. mungkin lebih baik, agar bisa introspeksi diri.

Kutujukan pada kaumku yang kusayangi..

Gempa Padang 30 September 2009 meninggalkan "sedikit" keprihatinan di perasaanku terdalam. Bukan tentang gempanya... yang tentu saja itu bagian dari proses penciptaan dan bisa disikapi berdasarkan nilai-nilai keimanan yang kita punyai; mau dianggap sebagai musibah (kalau kita semakin jauh dari Allah), mau dianggap sebagai ujian keimanan (jika kita mau bersabar dan semakin dekat pada Allah, dll.

Banyak sekali bantuan datang, terutama dari pihak asing - dalam tulisan ini aku akan titik beratkan pada istilah "bule". Dan karena keterbatasan mereka dalam berbahasa, maka mereka menggunakan jasa interpreter. Entah mengapa .. jumlah interpreter perempuan lebih banyak dibanding laki-laki.

Nah, yang aku amati adalah : sebagian kaumku yang tidak saja menawarkan jasa sebagai interpreter tapi berusaha untuk mencari "prestise" dengan mendekati bule atau membalas perhatian para bule melalui beberapa cara. Ada yang bahkan terang-terangan mengatakan bahwa punya pasangan bule jauh lebih bergengsi dibandingkan punya pasangan produk lokal.

Kalau sekedar bersahabat saja.. pastilah tak akan jadi masalah. Tapi kalau sudah mengikuti kultur mereka? Wah.... !! Aku cuma bisa ngucap. Para bule minum bir, eh si interpreter duluan teler....  si bule malah anti rokok tapi si interpreter merasa lebih gengsi jika ada asap yang keluar dari mulutnya. Ketika si bule tak beragama... si interpreter yang mengaku punya agama justru jauh dari kesantunan. Kemudian saking berharap cinta atau mungkin saja bisa hidup bersama sang bule, si interpreter mau saja dipeluk-peluk dan dicium di pinggir jalan.

Duh... kalau para wanita tak lagi bisa menjaga diri.. apa jadinya Indonesia?
Bahkan dari penuturan mereka sendiri, tak ada bule yang loyal. Setelah balik ke negara mereka, bahkan tak pernah ada kontak sedikitpun. Mereka hanya mencari kesenangan sesaat, seperti layaknya "kesenangan" yang mereka peroleh di negera mereka.

Lalu? Apa sebenarnya yang kau cari wahai kaumku ?