Wednesday, November 29, 2006

Ketika Harus Berbagi Cinta...

 Aku ga menemukan judul yang lebih pas mewakili kata hati yang ingin aku tuliskan. Untuk ke sekian kalinya kisah polygami hadir mengisi memori dan hatiku. Kali ini ada rasa yang tak bisa diungkapkan karena torehan dukanya sangat dalam terhadap orang yang aku sayangi, syaraf-syaraf ku pun merespon hingga aku harus mengakui bahwa aku teramat sedih. Bukan berarti aku mengingkari bahwa polygami itu dibolehkan karena memang ada firman Allah yang menyatakan demikian. Ungkapan klasik yang mau ga mau harus diakui dan dicarikan solusinya dengan adil “Wanita mana sih yang rela suaminya menikah lagi?”. Hal ini pula yang menyebabkan imbalan berupa sorga bagi isteri yang ikhlas menjadi sangat masuk akal karena ujian berbagi cinta pastinya menjadi ujian terberat bagi seorang isteri. Bahkan rumah tanggal Rasulullah pernah mengalami gejolak karena satu kata “cemburu”.


 


Aku tak bisa mendalami sejauh mana rasa sakit itu menghampiri perasaan seorang isteri karena aku tidak pernah berada dalam kondisi tersebut. Namun di setiap curhat ummahat sebelum ataupun sesudah suami mereka menikah lagi, aku ikut larut dalam setiap bulir air mata mereka. Tangis itu tidak semuanya melukiskan kecengengan, di antaranya menangis karena mereka belum mampu setabah dan setegar Siti Aisyah atau Siti Hajar. Mereka takut kalau tidak punya kesempatan yang banyak menuju gerbang sorga karena kecemburuan dan kemarahan pada sang suami. Buat mereka, selama ini suami atau lebih tepatnya keluarga adalah ladang untuk menuai pahala. Sejak ijab kabul terucap telah terpatri azam dan janji pada Sang Khalik untuk membina keluarga sakinah mawadah warahmah dengan berbakti sepenuhnya kepada suami dan menyayangi buah cinta yang mereka punya.  Sorga yang sangat dirindukan terasa makin menjauh karena senyum ikhlas tak mampu lagi mereka persembahkan untuk suami tercinta. Setidaknya inilah salah satu isak dari isteri-isteri shaleha yang pernah aku dengar (sayang para suami mungkin tidak mengetahuinya).


 


Di hari yang lain, seorang ukhti berbagi cerita denganku bahwa ayahnya ternyata punya isteri yang lain selain ibunya sejak 10 tahun yang lalu. Sang ibu baru mengetahui seminggu ini, itupun karena si isteri kedua datang ke rumah memperkenalkan diri dan curhat karena sang suami tak lagi menafkahi keluarga. Kalau tak berada dalam keadaan terpepet, dia sama sekali takkan pernah datang ke rumah itu karena dia tak mau mengganggu ketentraman keluarga yang telah dahulu dibina oleh sang suami. Ukhti tersebut sangat berbesar hati. Dia tidak marah pada ayahnya karena dia sama sekali tak pernah kehilangan sosok sang ayah, justru dia kasihan pada ibu kedua-nya karena kesabarannya untuk “dinomorduakan” selama 10 tahun. Buktinya, tak ada yang pernah tahu selama kurun waktu tersebut bahkan gelagat mencurigakan atau bisik-bisik tetanggapun tak pernah mereka dengar.  Namun, dia tak mampu untuk meyakinkan ibunya bahwa keluarga mereka akan baik-baik saja karena selama ini pun sang bapak tidak mengurangi sedikitpun kadar cintanya. Tapi luka itu tak mau pergi… Ukhti itu ingin sekali memperlakukan ibu kedua-nya selayaknya memperlakukan seorang ibu namun dia tak mau menyakiti ibu kandungnya bahkan lebih sedih lagi karena dia belum berhasil untuk membujuk ibunya agar tak mengajukan gugatan cerai kepada ayah yang sangat dicintainya.


 


Apakah sakit hati, marah dan benci memang menjadi bagian dari perangkat CINTA ? Entahlah, aku berusaha sekuat tenaga untuk menyangkalnya karena yang aku tahu CINTA itu adalah sumber kebahagiaan dan jika marah, benci dan sakit hati mulai mendominasi perasaan maka pastilah kedudukan cinta itu telah bergeser. Apapun penjabaran dan alasannya, takut kehilangan cinta menjadi alasan yang rasional dan manusiawi. Bukankah sebelum seseorang memutuskan untuk menikah, dia telah berjuang cukup banyak menemukan “cinta” nya dengan ikhtiar, sujud yang dalam dan doa-doa panjang karena cinta akan membuatnya mampu mereguk banyak pahala sebagai kunci menuju sorga? Setelah doa dikabulkan, tak peduli harus bernaung di kontrakan kecil, pindah kontrakan beberapa kali, makan seadanya, berhenti bekerja, bahkan meninggalkan segala kemewahan yang selama ini dipunya hanya untuk alasan cinta dan pengabdian, karena sadar bahwa tujuan pernikahan adalah untuk menggenapkan dien. Hingga, tak sedikit isteri yang mampu mengantar suaminya menuju jenjang kesuksesan, dilimpahi banyak rezki dan kebanggaan. Sangat wajar bukan jika duka itu menyeruak di saat mengetahui suami berbagi cinta atau jatuh cinta lagi ?


 


Maaf sahabat, aku menulis ini dalam keadaan yang sangat emosional. Hal ini jadi catatan penting buatku, ternyata aku masih jauh dari kadar seorang muslimah yang mampu memahami hakikat polygami. Saat ini, bukan aku yang mengalami tapi hatiku sudah protes demikian hebat. Maka, aku menyatakan penghargaan dan kekaguman yang tinggi kepada isteri-isteri yang tetap setia dan suami-suami yang adil dalam melajukan biduk rumah tangganya yang akan mudah sekali oleng bila irama kayuhnya tak sama.


 


* Aku malu ya Rabb, ujian yang Kau berikan padaku tak sehebat ujian yang Kau berikan pada mereka namun keluh kesahku lebih banyak dibanding doa yang mereka untai. Lindungi aku dari perbuatan zhalim kepada makhluk-Mu. Amin.

Friday, November 24, 2006

Permata Hati

Tadi malam hp ku berbunyi, satu pesan diterima "Alhamdulillah telah lahir putra kami pada pk. 7.40, mohon doakan menjadi anak yang shaleh". Setiap kali pesan yang sama muncul di layar hpku, setiap kali pula aku sadar bahwa ada senyum bahagia terbentuk sengaja ataupun tidak. Kabar kelahiran seorang anak adalah kebahagiaan bagi setiap makhluk yang bernama  manusia.


Begitu juga ketika kedua keponakanku lahir, ada kebahagiaan tiada tara. Tak henti mata ini menelusuri setiap kesempurnaan - Nya hingga. Betapa KREATIF nya Sang Pencipta yang tak pernah kehabisan "model" untuk manusia baru yang dihadirkan-Nya ke dunia, bahkan anak kembar pun masih bisa dibedakan. Tentu saja jauh sekali dibandingkan dengan kreatifitas pembuat boneka ataupun pembuat robot yang mudah sekali kehilangan ide untuk membentuk wujud yang baru.


Akhirnya, bayi yang tadinya polos dan disambut dengan suka cita terutama oleh ibu bapa yang mengharapkannya dengan sepenuh doa dan ikhtiar tumbuh dan berkembang. Perlahan di beberapa keluar, senyum bahagia itu semakin mengembang karena sang anak berjalan sesuai dengan tuntunan Sang Illaahi yang telah menjadikannya ada atau malah sebaliknya, memudar karena lingkungan telah mempengaruhi tingkah lakunya .. kata halusnya "melenceng dari jalan kebenaran".


Maaf judulnya jadi ganti, karena idenya tiba-tiba jadi ngebahas sang bayi tadi dan perjalanannya menuju dewasa. Yah, karena ada kontemplasi pada diri sendiri, apakah aku termasuk anak yang bikin senyum orang tua makin mengembang atau malah jadi tertahan? Rabb, ga mungkin aku membalas jasa orang tuaku bahkan setitikpun takkan sama tapi berilah aku modal keikhlasan untuk mengabdi dan membuat mereka bahagia.Amin

Anugerah Gusti Allah by W.S. Rendra

Seringkali aku berkata, ketika orang memuji milikku
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipanNya,
bahwa rumahku hanyalah titipanNya,
bahwa hartaku hanyalah titipanNya,
bahwa putraku hanyalah titipanNya,

Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya,
Mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?
Dan kalau bukan milikku,
Apa yang harus kulakukan untuk milikNya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat,
Ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya?

Ketika diminta kembali,
Kusebut itu sebagai musibah
Kusebut itu sebagai ujian,
Kusebut itu sebagai petaka,
Kusebut itu dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.

Ketika aku berdo'a,
Kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
Aku ingin lebih banyak harta,
Ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak popularitas,
Dan kutolak sakit,
Kutolak kemiskinan, seoalah semua "derita" adalah hukuman bagiku,
Seolah keadilan dan kasihNya harus berjalan seperti matematika:
Aku rajin beribadah, maka selayaknya darita menjauh dariku,
Dan nikmat darita kerap menghampiriku.

Kuperlakukan dia seolah mitra dagang,
Dan bukanlah kekasih.
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku",
Dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku.

Gusti,
Padahal tiap hari kuucapkan,
Hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah.....


"Ketika langit dan bumi bersatu,
bencana dan keberuntungan sama saja"
Adalah anugrah"

WS Rendra

Wednesday, November 22, 2006

Bikin Komik, seruuu......... !

Masih tentang Workshop IDEP yang dihadiri oleh participants yang unik dan kreatif (kenyataan nih). Hari kedua aku milih kelompok bikin komik baru about Kebakaran Kota. Entah gimana, aku ditakdirkan harus sekelompok ama Yuni dan Asti ssttt.. yang tadinya aku kira pendiam  (sorry sobat). Masih ingat banget fasilitatornya itu mas Trisna dan Pak Pur. Udah deh, belum juga disuruh untuk nuangin ide, secara bersahut-sahutan three girls ini ngasih ide jalan cerita, anehnya bisa nyambung pula jalan ceritanya. 


Dimulai dengan pemilihan tokoh : seorang veteran pemadam kebakaran yang udah ga bisa melaksanakan tugas karena mengalami kecelakaan kerja. Kakinya yang cedera mengharuskan dia pake satu "kruk", eit walo gitu dia masih terlihat gagah lo .. orangnya cakep berkumis tipis dan uban di samping kepala bikin sang veteran makin terlihat charming (hahahaha.. jadi ingat ekspresi mas Trisna dan bapak-bapak lain yang geleng-geleng kepala... Ampuuun...!).


Walau dia punya keterbatasan, loyalitas terhadap tugasnya masih sangat tinggi. Melihat kondisi perumahannya yang rapat dengan jalan yang sempit dan sangat rawan jika terjadi ancaman kebakaran, dia mencoba untuk mensosialisasikan pentingnya mencegah kebakaran ke warga sekitar. Tapi, orang-orang dewasa "mencemoohnya" apalagi dengan keadaan fisiknya yang "cacat". Namun, dia ga putus asa dan mengalihkan perhatian kepada anak-anak dan remaja yang sering bermain dengannya. Ssst... satu lagi kelebihan bapak ini adalah : dia pebasket handal di institusinya dulu, jadi walau harus pake kruk sebelah, gerakannya masih tetap lincah dan jarang sekali gagal memasukkan bola ke jaring. Tentu saja, hal ini jadi daya tarik buat anak-anak di sekitar kampung. Selanjutnya.... tunggu komik nya dicetak IDEP ya ??....


Saking kreatifnya, ide cerita bisa berganti sekali lima menit, tinggal aja mas Trisna bingung mau ngetik yang mana. Akhirnya Yuni mengambil alih dan berimajinasi sejadinya.. Jalan cerita berubah lagi sesuai moodnya Yuni. Nah, waktu plenary, Asti yang mempresentasikan... gawat ! Jalan ceritanya berganti lagi sesuai ama imajinasinya Asti, hehehe.. jadi aja itu komik punya 3 skenario alternatif yang tiga-tiganya menarik (wuih, pede banget lagi!).


Mudah-mudahan komiknya jadi dicetak dan kenangan ketika membuatnya akan menyatukan hati-hati kita. Thanks sobat baru ku...  Makasih Allah udah memberiku selaksa cinta lewat teman-teman yang istimewa.


Klo ada yang mau nambahin, boleh tuh :)


 

Monday, November 20, 2006

Diskusi tentang kerawanan pangan

 


Suasana di pinggiran sawah Ubud emang bikin suasana beda banget! Bau alam di pagi hari begitu mempengaruhi seluruh energi. Ternyata lokasi kegiatan sangat menentukan semangat peserta. Keluar dari kamar bisa langsung nyapa tetangga sebelah kamar juga memunculkan atmosfir persaudaraan yang kental. Beda donk klo dilaksanakan di hotel berbintang yang hanya berbatas dinding dan gang, hehehe parno banget deh gw.


 


Di salah satu working group, aku kebagian ngebahas tentang kerawanan pangan, topik baru yang jadi usulan untuk dimasukkan ke dalam manual. Karena bingung, ga tahu mau mulai dari mana, jadi aja semua sharing tentang “biang kerok” dari kerawanan pangan, yaitu “kemiskinan” yang bukan kemiskinan sebenarnya (nah lo bingung kan ?). Teman dari Lombok bilang bahwa petani di sana yang punya lahan hanya 5% selebihnya adalah petani “gurem”. Bahkan lebih parah di Bali, padi-padi dijual pada saat berumur dua minggu sehingga petani hanya menjadi produsen dan tidak lagi mementingkan menjadi konsumen. Aturan hidup menjadi terbalik, seharusnya bekerja adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga logikanya, petani mestinya ga akan pernah kelaparan. Sekarang engga seperti itu, yang penting uang ada di tangan. Adanya pergeseran budaya membuat cara pandang pun menjadi berbeda. Kalau ada uang di tangan, berarti mereka bisa memanfaatkan sesuai dengan kebutuhan mereka dalam meningkatkan “status” sosial. Seperti, pada suatu daerah status sosial akan meningkat jika anak-anaknya punya Play station atau sang bapak akan bangga mengenakan baju dengan merk yang lagi “.


 


Diskusi itu dipicu oleh pertanyaan lugu ku, “Kenapa harus ada kelaparan ya? Padahal pekarangan rumah bisa ditanami dengan bermacam-macam tanaman bermanfaat. Toh, orang jaman dulu sepertinya ga pernah memperhatikan nilai gizi”. Pembahasan ini terkait juga dengan program Sadar Gizi yang katanya menjadi salah satu solusi untuk kerawanan pangan. Teman-teman tersenyum geli karena nenek moyang kita dulu juga ga pernah belajar gizi tapi anak-anaknya sehat-sehat tuh.


 


Ada satu lagi kontribusi pemerintah tentang Beras sebagai sumber karbohidrat utama, kampanye tentang pentingnya makan nasi telah mempengaruhi pola hidup masyarakat Indonesia. Padahal ga ada yang salah dengan sumber karbohidrat lainnya, seperti : singkong, sagu, dll. Sementara masyarakat terlanjur mikir bahwa yang ga makan nasi status sosialnya lebih rendah. Dan yang paling vital adalah ketidak pedulian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan, salah satunya pembangunan atau perbaikan saluran irigasi. Di sumbar contohnya dengan adanya “harta pusako” berupa sawah yang ga boleh dijual semestinya menyebabkan pemiliknya bukanlah golongan keluarga miskin. Tapi bagaimana bisa memanfaatkannya dengan maksimal jika sawah tersebut adalah sawah yang mengandalkan sumber air dari hujan (sawah tadah hujan). Kondisi ini sungguh memprihatinkan, di musim hujan sawah terancam bahaya banjir, di musim panas sawah tak bisa ditanami.


 


Kemudian ada lagi pertanyaan menggelitik, “Mengapa masyarakat harus menunggu aksi dari Pemerintah, mana semangat gotong royong selama ini?”. Nah, di sini NGO juga disorot, karena salah satu program andalan NGO kaya adalah “cash for work” yang menyebabkan masyarakat menjadi malas. Terima duit, pergi ke sawah buat leha-leha trus pulangnya dapat duit. Alhamdulillaah, aku benar-benar mendapatkan pencerahan bersama teman-teman. Thanks for Suhaimi from Walhi Lombok, Bang Yos (FKPB Kupang), Ipul (Dolphin Palu), Agus Wes from Green Peace, Winata (PMI Bali), Agus (satkorlak bali), Mas Avianto (NU), Aam (DKP) dan Ali, Trisna, Ade, Sayu, Made, Michael, Ilham, P’Pur and Taka from IDEP.


 


See u in next session…

Indahnya Workshop Penanganan Bencana




Mau mulai cerita dari mana ya? Terlalu banyak yang ingin diceritakan karena semuanya sangat indah walau kegiatan yang aku ikuti ini sebenarnya adalah kegiatan yang sangat serius, namanya aja workshop for Community Based Disaster Management (CBDM=Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat) kit review yang diselenggarakan oleh Yayasan IDEP di Bali. Aku yang “parno” banget ama kesendirian mulai nyiapin segala perbekalan untuk “pembunuh” sepi. Norak ya ? Tapi emang itu kenyataannya karena tiap kali dapat undangan workshop, yang kebayang adalah suasana hotel yang pas meeting terkungkung dalam sebuah ruangan dan malam akan terasa sangat sepi. Biasa bekerja di lingkungan yang banyak teman ditingkahi hiruk pikuk suara mereka bikin aku ngerasa kehilangan dunia bila harus ikut workshop di hotel (yang mau ga mau harus diikuti buat nambah ilmu dan membangun link).


 


But, aku salah total! Kali ini workshop ga diselenggarakan di hotel berbintang tapi di sebuah hotel biasa di pinggir jalan Ubud, suasanya rumah banget dan klo aku buka pintu kamar akan langsung memandang sawah nan siap panen. Bahagia benar  berada di suasana desa nan asri. Gitu juga ketika workshop dimulai, aku ga kenal satupun peserta sebelumnya, yang aku kenal hanya Mike. Acara perkenalanpun berlangsung di ruang meeting, sangat singkat difasilitasi oleh Mas Islem, itupun hanya nama dan asal organisasi. Udah gitu, langsung deh milih kelompok untuk pembahasan revisi buku. Nah, di kelompok nih yang asyik banget. Tiap hari ada empat kelompok yang membahas topik berbeda. Mejanya berada di luar ruangan, tepatnya di beranda depan kamar. Judul pembahasannya serius semua, namanya juga Panduan Umum Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat (PBBM) tapi ternyata bicara tentang bencana ga harus ‘serius’ tuh. Sharing pengalaman masing-masing peserta jadi nilai tambah yang ga kan bisa didapat dalam acara-acara formal sejenis. Mungkin juga atmosfir pekerja lapangan emang menghasilkan aura tersendiri, jadinya walo ada perbedaan pendapat tetap aja gelak tawa mewarnai working group.


 


Repotnya, saking pengen maksimal nuangin ide demi “kesempurnaan” buku, walau Ilham berkali-kali ngingatin waktu nya dah habis pake pesan kayak pembawa papan ronde di ring tinju, peserta hanya tersenyum manis sekejap dan kembali asyik dengan diskusi kelompoknya. Akhirnya, tanpa harus dikomunikasikan, tambahan waktu untuk tiap sesi diskusi jadi kesepakatan bersama. Ga ada tuh yang mau buru-buru ninggalin pembahasannya hanya karena ingin tepat waktu seperti tercantum di jadwal. Walo kadang muncul juga istilah-istilah cerdas yang klo dipaksain ada juga hubungannya ama kebencanaan, seperti “Logika tanpa logistik ? Mana mungkin bisa nanggulangin bencana”. Seru !!!


 


Terimakasih for wonderful friends : Mas Islem dan Yuni (MPBI), Petra (bosnya IDEP), Yuli and Heri (Greenhand free school), Jason (Surfaid), Sven (GTZ Aceh), Asti (UNESCO), Vidi (GTZ-IS), Didik (KPB Yogya), mas Banu (Oxfam), Stacey (USAID).


 


To be continued….

Sunday, November 19, 2006

Patah hati?

Membaca judulnya aja udah banyak yang tercenung. Ayo ngaku. Pada pernah patah hati kan? Entah siapa penggagas kata ini, tapi yang jelas ungkapan ini dipakai oleh Negara manapun di dunia untuk menggambarkan rasa “kehilangan” seseorang yang diharapkan menjadi soulmate. Lha jadi ngomongin bahasa, but it’s true dan sama seperti bahasa-bahasa abstrak lainnya, yang ini pun sulit didefinisikan dan tak terukur. Duh, yang pernah ngalamin jadi makin jauh terbawa pada memori itu…. “Pedih, Jendral!”.


 


Ya udah, ga usah berlama-lama di area bahasa. Let’s go forward. Aku hanya ingin kilas balik untuk diri sendiri dan mungkin juga bisa jadi referensi buat teman-teman yang sedang mencari literatur untuk pembahasan “topik” ini (pede banget ya ?). Kata guruku, masalah itu bukanlah hal terpenting, yang paling penting itu adalah bagaimana menemukan jalan keluarnya (beneran lo ini… ).


 


Sehubungan dengan usaha menemukan seseorang yang sama “Jabal rahmah” nya dengan kita dalam rangka melengkapi dien pastinya ada proses donk. Nah, ternyata setelah berikhtiar dan berdoa, keputusan mutlak kan hanya milik Rabb Yang Maha Bijaksana, yang diartikan sebagai : takdir. Mungkin ikhtiar kita menuntun ke arahnya dan mungkin juga tidak. Kalau iya, ya udah berarti ga usah dibahas. Alhamdulillah…. Kalau engga? .. Tiba-tiba ada kekosongan menyelinap… ga bisa diungkapkan pokoknya mah. Ayo, lagi-lagi ngaku !


 


Di sini butuh kebijaksanaan manusia untuk dirinya sendiri. Ada yang membiarkan rasa itu menjalar sangat jauh hingga ia terpuruk sangat dalam dan susah untuk bangkit lagi. Tapi ada juga yang ga membiarkan rasa itu merajalela hingga produktifitasnya hanya boleh hilang dalam hitungan detik. Hidup itu indah selama kita tetap mentransformasikannya dalam bentuk keindahan.


Intinya gini, patah hati itu boleh tapi patah semangat itu pantangan karena jatuh cinta dan patah hati sudah menjadi pasangan yang serasi, tinggal aja memadu padankannya. Patah hati bisa diganti kok atmosfir nya sesuai kebutuhan. Seseorang bisa aja ga patah hati karena udah memperhitungkan faktor resiko dan melakukan persiapan sesuai dengan kadarnya. Kalau dirujuk ke undang-undang kehidupan, pasalnya adalah “Innamal a’malu binniat”, banting stir aja.. kalau tadi niatnya ngejadiin dia sebagai imam dunia akhirat, tinggal diganti aja jadi saudara dunia akhirat, toh otak akan memproses sesuai dengan niat yang diteruskan kepada seluruh anggota tubuh. Simple kan ? Silaturahmi harus tetap jalan donk..


 


Yang baca ga boleh protes.. aku dengar lo dari jauh ada yang bergumam and complain “Andai semudah itu…”. Wallaahu a’lam. 


 


Buat yang lagi patah hati, tersenyumlah karena berarti punya kesempatan baru untuk jatuh cinta lagi. See…?? Life is beautiful, isn’t it?


 


* Semoga bahagia untuk dia yang telah menemukan takdirnya*


 

Monyet di Ulakan-Padang Pariaman




Beda sekali memang nasib anak sapi yang jadi korban untuk menghentikan semburan lumpur panas Lapindo dengan nasib monyet-monyet yang ada di Nagari Ulakan Padang Pariaman. Lihat saja, betapa anak-anak memperlakukannya penuh kasih sayang walau bukan mereka pemiliknya. Foto ini diambil pada saat ada lomba monyet panjat kelapa di Nagari Ulakan, Padang Pariaman. Monyet-monyet yang ikut lomba nampak begitu terawat, terlihat dari bulu-bulu yang bersih dan tubuh yang sehat. Begitu juga ketika sang pemilik menginstruksikan monyet-monyet untuk mengambil kelapa, melompat dari satu pohon ke pohon lainnya, semua diekspresikan dengan kasih, terkadang hadir juga tontonan yang lucu karena ada monyet yang hanya nampang setelah sampai di atas pohon atau ketika monyet ga berani lompat antar pohon tapi malah turun untuk bisa pindah ke pohon sebelahnya yang tentu saja kena sangsi diskualifikasi tapi pemiliknya tetap tersenyum karena bagi mereka lomba ini hanya sebagai ajang silaturahmi. Monyet di Ulakan sungguh beruntung, tidak seperti anak sapi di Porong, Sidoarjo.

Thursday, November 9, 2006

Surat...

Pagi ini  ketika kasak-kusuk nyari sebuah buku yang hilang, mataku tertuju pada setumpukan surat, yang akhirnya mau ga mau, jari-jari ini otomatis menilik satu per satu; ada dari adikku bungsuku tersayang, dari sobatku di Medan, teman-temanku ketika di Malaysia, sobat penaku yang belum pernah ku jumpa sampai sekarang...


Ga cukup sampai di situ, penasaran akan isinya, hingga jari-jari ini membuka lembar demi lembar dan akhirnya kata demi kata ditelusuri. Subhanallah, hawa yang dihasilkan begitu berbeda. Surat emang hanya selembar atau paling banyak empat lembar namun mampu hadirkan memori sekian tahun...


Sekarang, silaturahmi tetap terjalin lewat email tapi kenapa serasa ada yang beda ? Surat membawa nuansa sendiri yang ga bisa diungkapin lewat kata... Pokoknya beda! Mungkin karena perjuangan nulis atau ngetik surat, beli amplop, ke kantor pos dan berharap sampai tepat waktu .. itu yang bikin surat jadi punya nilai lebih. Entahlah .. aku lebih sering menitikkan air mata rindu ketika baca surat dibanding baca email. Hmm.. sisi melankolis ku aja kali ya ?


Maafkan aku sobat, jika sekarang aku tak serajin dulu lagi berkirim surat... namun insya Allah aku akan selalu ingat di rangkaian doa-doaku biar kita kembali dipersatukan di surga Allah karena silaturahmi dan kasih sayang yang kita jalin penuh keikhlasan. Amin.

Anak Sapi di Lumpur Panas Lapindo

 


Menyaksikan berita di salah satu stasiun TV tentang lumpur Lapindo bikin hati ini ikut panas. Bukan karena bosan sama pemberitaan yang tiada henti, sama sekali enggak. Siapa sih yang ga ikut sedih ngelihat rumah yang tenggelam dan penghuninya harus mengungsi padahal rumahnya masih pada bagus?


 


Namun kali ini perasaan itu lebih membuncah daripada biasanya. Coba, apa hubungannya ngebuang anak sapi hidup-hidup ke dalam lumpur yang segitu panasnya ? Trus dibiarin menggelepar-gelepar sampai mati. Katanya, cara itu bisa menghentikan semburan lumpur. Sebenarnya aku juga ga mesti protes, di zaman sekarang, jangankan nyiksa hewan, berita tentang kekerasan, pelecehan dan pembunuhan sesama manusia aja jadi tampilan yang sangat biasa. Setiap stasiun TV berlomba-lomba memberitakan kekejaman demi kekejaman yang terjadi.  Ada apa sebenarnya dengan nurani manusia Indonesia?


 


Kembali ke persoalan anak sapi, Allah pasti sangat tidak menyukai hal tersebut. Orang buat motong ternak aja diharuskan memakai pisau yang sangat tajam biar hewan tersebut ga kesakitan eh ini malah sengaja nyiksa ? Alih-alih lumpur bisa dihentikan, mungkin juga ga akan pernah berhenti karena kita bukannya berusaha sekuatnya untuk makin meminta pertolongan kepada Allah dengan jalan yang diridhai malah nyari jalan macam-macam dan jauh unsur yang disukai Nya (ga mau bilang yang paling extrim : syirik!). Apa ga lebih bermanfaat tuh anak sapi dipotong, digulai dan dibagiin ama pengungsi sambil mensyukuri nikmat tersebut ? Allah akan mendatangkan rezki dari tempat yang ga disangka-sangka klo kita pandai bersyukur. Bisa aja rezki itu berupa dihentikannya semburan lumpur, ya kan?. Wallaahu a.lam.


 


Mohon maaf bagi yang ga setuju. Ini hanya curahan hati dari seorang anak manusia yang ingin mencintai Allah semampunya.

Tuesday, November 7, 2006

Doa hening

Kata demi kata


Tersimpan jauh di sudut kalbu


ketika semua bisu


tak satu pun terlisankan


hening terangkai dalam tengadah doa


tak perlu bisik


sepenuh hati dalam tiap tarikan nafas


biarkan jendela dunia itu basah


hanya itu yang bisa ungkapkan


pasrah pada takdir-Mu, wahai Rabb


karena ku bukan Rabi'ah


*Amin*

Thursday, November 2, 2006

Aduh ! Tingkat Kecerdasan Anjlok

Bulan ini kembali kegiatan Emergency Capacity Building (ECB) di Padang Pariaman dimulai, malah lebih seru lagi.. LSM ku KOGAMI kerja di 7 Nagari (desa) sekaligus. Senangnya menikmati suasana bersama masyarakat yang beragam. Hingga ingatan ini melayang pada acara community meeting yang dilaksanakan dua bulan lalu. Seperti biasa, dengan lancar aku bertutur tentang mekanisme terjadinya gempa, dimulai dengan permukaan bumi seperti telur dan bentuk bumi yang bulat. Eh tiba-tiba ada satu orang bapak nyelutuk : "Bu Patra, kalau bumi kita bulat dan berputar, kenapa kita ga pernah terpelanting sekali waktu. Kan ada waktunya pasti kita di bawah ?". Tentu saja dengan bahasa setempat dan pertanyaan itu benar-benar polos karena ketidak tahuan.


Nah..Nah.. kemana nih ilmu bumi yang aku pelajari ? Iya sih, ada gaya gravitasi tapi gimana ngejelasinnya. Yang ada malah aku ikutan jadi mikir "Kenapa ya kita ga terbalik?" Huahahaha... Tingkat kecerdasanku jadi anjlok ke titik nol. Akhirnya mesem-mesem, aku jawab "Ntar, saya buka buku lagi ya pak, saya juga lupa tuh". Untung si bapak puas tapi ternyata dia emang butuh jawaban. Sampai sekarang nagih terus. Tolongin donk.. please....




 

Wednesday, November 1, 2006

Memoirs of A Gheisha

Kayaknya telat banget kali ya klo aku pengen bahas nih film. Biarin deh, daripada ntar penasaran sendiri. Udah lama sih dapat referensi dari teman-teman, tapi karena alasan "sok sibuk" tea, jadi aja sering lupa buat minjam VCD nya. Nah, sekalinya ingat, tuh film keluar melulu. Alhamdulillah, kemaren malam dapat kesempatan juga buat nonton.


Mengharukan... Maksudnya, dari film itu, aku jadi benar-benar makin merasa beruntung lahir sebagai muslimah dan hidup di Indonesia. Intinya, sih emang perjuangan seorang bocah kecil bernama Chiyo untuk bisa menjadi dirinya sendiri. Perjalananannya itu lo yang luar biasa... mulai dari dijual, ga punya pilihan, hampir putus asa sampai akhirnya ada momen yang ga lebih dari lima menit yang bikin dia punya semangat untuk ngelanjutin hidup... yup, setitik perhatian dari seseorang yang ga dikenal di saat dia emang butuh someone to lift her problems.


Intinya mah, setitik perhatian itu menjelma menjadi harapan yang besar... yang kata orang-orang namanya 'CINTA'. Mmh.. kesabarannya untuk menjaga cinta itu sekarang jadi inspirasi nih buat aku yang ternyata klo emang itu takdirnya, tetap akan dipersatukan Allah. Hanya butuh kesabaran dan tawakal ama destiny... of course after ikhtiar sekuat tenaga dan doa sejadi-jadinya. Nah lo kok jadi masuk ke wilayah pribadi nih ? ... Thanks a lot pokokna mah buat yang udah ngasih rekomendasi untuk nonton film ini.  I dont want to be a Geisha, but I really want to be a real muslimah. Amin.